Wednesday, March 14, 2012


MASYARAKAT MADANI DAN DEMOKRATISASI
Oleh : Zuhraini*)[1]

Abstrak
Kehadiran masyarakat madani sebagai masyarakat yang mandiri tergantung pada interaksinya dengan negara, dan karena itu harus dimengerti sebagai satu proses yang mengalami pasang surut, kemajuan dan kemunduran, kekuatan dan kelemahan dalam perkembangannya. Artinya mungkin saja keberadaan masyarakat madani kuat disebabkan melemahnya posisi negara, namun dapat pula sebaliknya posisi masyarakat madani lemah karena kontrol negara yang kuat. Pengertian masyarakat madani sebagai masyarakat yang mandiri dan bebas terhadap pengaruh kekuasaan negara, maka bagi sistem politik maupun masyarakat yang demokratis keberadaannya merupakan prasyarat penting. Karena itu, pembicaraan tentang masyarakat madani tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari demokrasi. Minimal ada dua sasaran demokratisasi yang diperjuangkan masyarakat madani Pertama ; restrukturisasi kekuatan negara berupa pembatasan kekuasaan yang jelas dan wewenang negara terhadap masyarakat. Kedua,  penguatan masyarakat madani yang mandiri dalam proses politik dan kepentingan publik lainnya. Konsep masyarakat madani, mengasumsikan proses demokratisasi sebagai proses politik yang dorongannya berasal dari perjuangan masyarakat yang sadar secara etis dan bertanggungjawab atas nasibnya sendiri.

Kata Kunci : Masyarakat Madani, Demokratisasi


Pendahuluan
Gagasan masyarakat madani sesungguhnya baru popular sekitar tahun 90 an di Indonesia, dan karena itu barangkali juga masih berbau asing bagi sebagian kita. Konsep ini pada awalnya, sebenarnya mulai berkembang di Barat, memiliki akar sejarah.awal dalam peradaban masyarakat Barat, dan terakhir setelah sekian lama seolah-olah terlupakan dalam perdebatan wacana ilmu sosial modern, kemudian mengalami revitalisasi terutama ketika Eropa Timur dilanda gelombang reformasi di tahun-tahun pertengahan 80-an sampai awal 90 an.
Selanjutnya. Wacana ini oleh banyak bangsa dan masyarakat di negara berkembang, termasuk di Indonesia, secara antusias ikut dikaji, dikembangkan, dan eliminasi, sebagai realitas empiris yang di hadapi. Populernya istilah masyarakat madani digunakan di Indonesia tidak terlepas dari peranan Nurcholish Madjid dan para cendikiawan muslim lainnya. Meskipun demikian, kita dapat mencatat  juga bahwa Anwar Ibrahim, Tokoh muslim negeri jiran, ketika datang ke Indonesia pernah pula memperkenalkan istilah masyarakat madani dalam ceramahnya pada forum Istiqlal 26 September 1995, yang ia kaitkan dengan konsep kota ilahi, kota peradaban, atau masyarakat kota yang telah tersentuh peradaban maju.1
Definisi ideal masyarakat madani sebagaimana dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, yang kemudian dikutip oleh Dawam Rahardjo,.Masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat,.mempunyai ciri-ciri yang khas ; kemajemukan budaya, hubungan timbal balik, dan sikap saling memahami dan menghargai. Sejalan dengan gagasan Anwar Ibrahim, Dawam Rahardjo menegaskan, dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.2
Wacana masyarakat madani ini, merupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat Barat modern, yang saat ini lebih dikenal istilah civil society. Dalam tradisi Eropa (sekitar pertengahan Abad XVIII), pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state) yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Akan tetapi pada paruh Abad XVIII, terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social formation) dan perubahan-perubahan struktur politik di Eropa sebagai pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi.3
Berbagai batasan dalam memahami istilah masyarakat madani diatas, jelas merupakan suatu analisa kontekstual terhadap performa  yang diinginkan dalam mewujudkan masyarakat madani. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan aksentuasi dalam mensyaratkan idealisme masyarakat madani. Akan tetapi secara global dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik (public share) dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang dapat menyalurkan aspirasi dari kepentingan publik.
Dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjdi dasar dan eksistensi masyarakat madani. Prasyarat tersebut antara lain;  free public sphare, demokrasi, toleransi, pluralisme, keadilan sosial dan berkeadaban. Dari salah satu prasyarat tersebut, yakni demokrasi yang merupakan satu entitas penegak masyarakat madani, Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society  yang murni (genuine). Tanpa demokrasi masyarakat madani tidak mungkin terwujud. Secara umum demokrasi adalah satu tatanan sosial politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara. Penekanan demokrasi (demokratisasi) disini dapat mencakup segala bentuk aspek kehidupan, seperti; politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokratisasi menurut Dawam Rahardjo; bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah masyarakat madani dapat berkembang secara wajar.4
Menurut Soetandyo Wignyosubroto5 yang dikutip oleh Adi Suryadi Culla, demokratisasi dalam arti sebagai suatu proses atau upaya realisasi dan/atau penyempurnaan demokrasi muncul sebagai masalah jika kenyataan dalam prakteknya belum terwujud seperti diharapkan. Demokratisasi diartikan sebagai suatu proses atau upaya untuk mengatasi kenyataan diskriminatif, sehingga kebanyakan warga, golongan dan lapisan masyarkat umum dapat ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik, publik dan pemerintahan tanpa dihalangi oleh status maupun askripsi sosialnya yang lain. Demokratisasi merupakan perluasan hak dan kewajiban kepada seluruh warga, dan bukan hanya terbatas pada lapisan masyarakat tertentu saja untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik dan pemerintahan.
Kenyataannya, terutama dalam negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia, demokratisasi ini baru sebatas dalam konstitusi atau yuridis formal, tetapi tidak mudah dalam realisasi praktisnya.Tidak heran jika demokratisasi sebagai prasarat dari konsep masyarakat madani juga mengalami masalah dalam realisasinya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan analis is tentang masyarakat madani dan demokratisasi, khususnya di Indonesia. Berdasarkan materi tersebut disusun permasalahan mengenai aspek-aspek hukum mengenai masyarakat madani dan demokratisasi di Indonesia.

Pembahasan
1.  Pengertian Masyarakat Madani
Wacana tentang masyarakat madani di Indonesia memiliki banyak kesamaan istilah dan penyebutan, namun memiliki karakter dan peran yang berbeda satu dari yang lainnya. Dengan merujuk sejarah perkembangan masyarakat sipil di Barat, sejumlah ahli di Indonesia menggunakan istilah yang berbeda untuk maksud yang serupa; “masyarakat sipil” (Mansoer Fakih); :”masyarakat warga” (Soetandiyo Wignyosubroto); “masyarakat kewargaan” (Franz Magnissuseno dan M.Riyas Rasyid); “masyarakat madani” (Anwar Ibrahim, Nurcholis Madjid, M.Dawam Rahardjo) dan “civil society “( AS.Hikam).6
Jean L. Cohen dan Andrew Arato 7 mendefinisikan masyarakat madani sebagai wilayah interaksi sosial yang didalamnya mencakup semua kelompok-kelompok sosial yang paling akrab (khususnya keluarga), asosiasi-asosiasi (khususnya yang bersifat sukarela), gerakan kemasyarakatan dan berbagai wadah komunikasi publik lainnya yang diciptakan melalui bentuk-bentuk pengauran dan mobilisasi diri sendiri dan independen dalam kelembagaan maupun kegiatannya. Didalam masyarakat madani, warganya bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial diluar lembaga resmi, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama. Masyarakat madani berpijak tegak diatas prinsip-prinsip egalitarianisme dan inklusivisme yang bersifat universal dimana pengalaman mengartikulasikan kemauan politik dan pengambilan keputusan yang bersifat kolektif merupakan hal-hal yang krusial baginya dalam reproduksi nilai-nilai demokarsi. Didalam domain yang diciptakannya masyarakat madani menciptakan kreativitas, mengatur, dan memobilisasi diri mereka tanpa keterlibatan negara.
Sedangkan Andre Gorz8 mendefinisikan masyarakat madani sebagai jaringan hubungan sosial yang dibangun orang perorang diantara mereka sendiri dalam konteks kelompok atau komunitas yang eksistensinya tidak tergantung pada otoritas negara. Termasuk dalam kategori ini, menurut Gorz, keseluruhan hubungan yang utamanya  lebih hanya dibangun atas dasar timbal balik dari pada atas dasar hukum atau kewajiban yuridis. Dalam hal ini, berbeda dengan negara yang pada hakekatnya berdasarkan ”peraturan dari luar” yakni menggunakan kekerasan dan paksaan, masyarakat madani pada hakekatnya tegak berdasarkan peraturan masyarakat sendiri oleh pribadi-pribadi yang membentuk masyarakat itu.
Adapun Ernest Gellner 9 mendefinisikan masyarakat madani sebagai aktor-aktor diluar pemerintah yang mempunyai cukup kekuatan mengimbangi negara. Mengimbangi berarti dapat mencegah atau membendung negara dalam mendominasi atau memanipulasi kehidupan masyarakat, namun demikian tidak mengingkari pula peran negara sebagai penjaga perdamaian dan wasit diantara berbagai kepentingan besar yang dapat menghancurkan tatanan sosial dan politik keseluruhan.
Selain itu, menurut Gellner, masyarakat madani disamping merupakan kelompok, institusi, lembaga dan asosiasi yang cukup kuat mencegah tirani politik baik oleh negara maupun komunal/komunitas lainya, juga memberi ruang bagi adanya kebebasan individu dimana asosiasi dan institusi tersebut dapat dimasuki dan ditinggalkan oleh individu dengan bebas. Masyarakat madani merupakan institusi yang terbentuk beradasarkan ikatan sukarela kelompok individu.
Sementara Larry Diamond10 sebagaimana dikutip Muh. AS Hikam, mengartikan masyarakat madani sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain, kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan, kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Perspektif lain dari Gramsci11 dalam bukunya (Prison Notebooks (1971)) mendefinisikan masyarakat madani sebagai kumpulan organisme yang disebut ”privat”, dibedakan dengan negara yang disebut sebagai masyarakat politik (political society). Secara kongkret Gramsci mengungkapkan apa yang dimaksud dengan masyarakat madani  sebagai suatu wilayah –wilayah institusi privat mencakup seperti gereja, serikat-serikat dagang/pekerja, dan lembaga pendiikan; sedangkan negara merupakan institusi publik seperti pemerintah, pengadilan, polisi dan tentara.
Michael van Lengenberg 12mendefinisikan masyarakat madani sebagai wilayah-wilayah yang terdiri diri kelompok-kelompok dan perkumpulan-perkumpulan pendidikan, tenaga kerja, bisnis, organisasi keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni kelompo lokal, keluarga, dan kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat.
Berikutnya Alfred Stepan13 mendefinisikan masyarakat madani sebagai arena tempat berbagai gerakan sosial (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok keagamaan, kelompok wanita, dan kelompok intelektual), serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh, dan usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehinga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukan berbagai kepentingan mereka.
Sedangkan Chandoke14 sebagaimana dikutip Adi Suryadi Culla,  mendefinisikan masyarakat madani sebagai suatu arena dimana masyarakat masuk kedalam hubungan dengan negara (the sit at which society enteres in to relationship with the state) dimana dalam arena itu dimunculkan hasil wacana kritik yang rasional yang mendorong terjadinya interogasi terhadap negara melalui wadah sosial yang oleh Chandoke diistilahkan sebagai institusi–institusi masyarakat madani.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukaan diatas, dapat dirumuskan bahwa pengertian konsep masyarakat madani adalah mencakup institusi-instusi non negara yang berada dimasyarakat yang secara konkrit mewujudkan diri dalam bentuk pengelompokan-pengelompokan atau perkumpulan-perkumpulan sosial dan politik yang mandiri. Secara konkrit pengejawantahan masyarakat madani adalah berbagai jaringan-jaringan atau pengelompokan sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga (house hold), organisasi-organisasi sukarela seperti LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban, dan juga kelompok-kelompok kepentingan (interest group) yang diciptakan oleh masyarakat diluar pengaruh negara. Bahkan juga mencakup organisasi-organisasi yang mungkin pada awalnya dibentuk oleh negara tetapi melayani kepentingan masyarakat, yaitu sebagi perantara dari negara disatu pihak dan individu dengan masyarakat dipihak yang  lain.15 Jika digambarkan lebih jauh disini, maka masyarakat madani tentu juga harus dibedakan dengan pengelompkan-pengelompokan sosial yang bersifat primordial lainnya seperti yang berwujud kesukuan (etnisitas), klan atau jaringan-jaringan klientalisme , karena variabel utamanya adalah otonomi (kemandirian), public dan civic.
Dalam konteks demikian, jika dihubungkan dengan negara maka menurut Chandoke masyarakat madani merupakan arena yang terletak diantara dua domain, yaitu domain of particular loyalities dan domain negara (state).16 Artinya masyarakat madani melintasi batas-batas sosial yang bersifat primordial maupun kelas.Masyarakat madani juga tidak memiliki kaitan pengertian dengan kelas menengah. Meskipun kelas menengah merupakan potensi dan basis sosial bagi pertumbuhan masyarakat madani, tetapi bukanlah satus  sumberdaya yang dibutuhkan. Kelas menengah merupakan kategori sosial yang lain. Dan eksistensinya untuk sebagian besar pandangan diasosiasikan dengan golongan borjuis atau kelompok yang berkemampuan ekonomi cukup, karena itu bersifat eksklusif. Sedangkan masyarakat madani mengandung muatan yang lebih horizontal dan inklusif yang sumberdayanya dapat berasal dari kelas atas maupun bawah beserta elemen-elemen sosial yang komplek lainnya.
Gagasan masyarakat madani pada dasarnya menyiratkan keniscayaan adanya keterbukaan dan kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluaran pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan didepan umum. Masyarakat madani merupkan suatu intensitas yang keberadaannya menerobos batas-batas primordial (pendapat Chandoke), kelas (melampui visi Marx), dan sebagai entitas yang memilki kapabilitas yang tinggi sehingga bisa menjadi kekuatan pengimbang (balancing force) dari kecendrunagn intervensi negara (melangkahi perspektif Hegel) dan pada saat yang sama mampu menjadi kekuatan refplektif kritis baik terhadap lingkungan eksternalnya maupun dirinya sendiri.
Prinsip otonomi ini tidak hanya berlaku dalam hubungan antara kekuatan masyarakat madani dengan aktor eksternal (negara, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi), namun juga secara horizontal dan internal diantara individu-individu kelompok, dan antar kelompok-kelompok masyarakat madani sendiri maupun terhadap aktor-aktor non negara yang bersifat particular primordial lainnya. Dalam kaitan inilah, upaya pembentukan masyarakat madani dapat dilihat esensi dasarnya merupakan pra syarat mutlak bagi demokrasi yang tak hanya berlaku ditingkat masyarakat bernegara namun hingga kelompok-kelompok terkecilpun didalam stratum sosial.  
Di Indonesia, gagasan masyarakat madani baru belakangan menjadi perhatian, terutama sebagai akibat imbasan perubahan politik di Eropa Timur di awal 90 an. Jelas, bahwa dinegeri ini sedang tumbuh kesadaran yang kuat ditengah masyarakat untuk mengembangkan model gerakan sosial yang bersifat madani. Pengalaman Orde Baru di masa lalu menjadi pelajaran berharga akan pentingnya gagasan ini direspon oleh aparat negara. Persoalan yang perlu dikaji adalah kemungkinan mengembangkan masyarakat madani, dan strategi perwujudannya, dengan tetap mempertimbangkan realitas kontekstual Indonesia. Ini berarti harus dilakukan pengkajian sendiri, dan keperluan tindakan reformasi sistemik terhadap tatanan kehidupan kenegaraan.
Secara historis, sebenarnya dalam perkembangan realitas politik Indonesia, gagsan ini telah lahir sejak awal kemerdekaan negeri ini. Lahirnya gerakan-gerakan perlawanan sosial terhadap struktur otoritarian kolonialisme, merupakan bukti bahwa masyarakat madani bukan ”barang baru” dalam sejarah Indonesia. Tetapi, akibat kegagalan praktek demokrasi di tahun 50 an, dan diiringi perubahan politik ke model otoritariisme negara sejak Demokrasi Terpimpin dan dilanjutkan secara dramatis dan kronis oleh rejim Orde Baru, peluang bagi pertumbuhan masyarakat madani minor. Barulah ketika rejim Orde Baru runtuh di bulan Mei 1998, konsep masyarakat madani kian mendapatkan legitimasi politiknya Dalam proses perubahan dari era Orde Baru ke ”era reformasi” dewasa ini mendadak momentum itu seolah menemukan jalannya yang terbuka.

2. Interpretasi Masyarakat Madani

Berbagai pengertian istilah tentang wacana masyarakat madani di Indonesia tersebut, bermuara pada perlunya  penguatan masyarakat (warga) dalam sebuah komunitas negara untuk mengimbangi dan mampu mengontrol kebijakan kebijakan negara (policy of state) yang cenderung memposisikan warga negara sebagai subjek yang lemah. Untuk itu, maka diperlukan penguatan masyarakat sebagai prasyarat untuk mencapai kekuatan  bargaining masyarakat yang cerdas dihadapan negara tersebut, dengan komponen pentingnya adalah adanya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mampu berdiri secara mandiri dihadapan negara, terdapat ruang publik dalam mengemukakan pendapat, menguatnya posisi kelas menengah dalam komunitas masyarakat, adanya independensi pers sebagai bagian dari social control, membudayakan kerangka hidup yang demokratis, toleran serta memiliki peradaban dan keadaban yang tinggi.
Gagasan masyarakat madani merupakan konsep yang mengandung banyak problema interpretasi dalam perkembangan sejarahnya. Tampaknya banyak interpretasi telah diberikan oleh para pakar dan ilmuwan, dan khususnya diantara founding fathers konsep masyarakat madani ini dari makna asal di Barat, dan terhadap pengadopsiannya kedalam wacana politik Indonesia. Oleh karena problema interpretasi itu, maka dalam berbicara tentang masyarakat madani seharusnya orang terlebih dahulu mengklarifikasi sudut pandang konseptual yang digunakan.secara garis besar, dari sejumlah uraian konseptual yang telah dikemukakan didepan, dapat kita simpulkan setidaknya empat pandangan utama yang mempengaruhi basis perkembangan pemikiran wacana ini.17Keempat pandangan tersebut berbicara mengenai gagasan masyarakat madani, dalam hubungannya dengan eksistensi politik negara.
Pertama, perspektif yang melihat hubungan antara masyarakat madani dan negara sebagai dua entitas etrpisah, yang dalam banyak situasi sering bersifat vis a vis, bahkan saling berhadapan secara dyadic. Dalam perspektif  ini di satu sisi jika dirujuk dalam ke konsep Hegelian itu sekaligus mendapatkan perlawanan oleh arus pemikiran penganut pluralisme politik yang menekankan pentingnya otonomi masyarakat madani dalam usaha membebaskan diri dari dominasi pengaruh negara.
Kedua persfektif yang pada dasarnya sama-sama melihat adanya pemisahan hubungan antara masyarakat madani dan negara diatas, secara terpisah oleh masing-masing pendukungnya telah digunakan untuk menganalisa realitas politik dinegara-negara berkembang. Kedua perspektif tersebut sesungguhnya merupakan cerminan dari dua pendekatan politik yang berbeda, yakni pendekatan negara (state approach) dan pendekatan masyarakat (society approach) atau masyarakat madani (civil society approach). Perbedannya, jika perspektif yang pertama dalam praktek menciptakan  negara kuat (strong state) yang jelas menjauhkan politik dari nilai-nilai demokrasi, maka perspektif kedua memberi peluang bagi tumbuhnya pluralisasi kehidupan politik.
Dengan kata lain jika pendekatan pertama menekankan perhatian terhadap peranan negara sebagai aktor superior berhadapan dengan masyarakat madani, maka yang kedua menekankan pentingnya kemampuan masyarakat madani dalam meperjuangkan eksistensinya secara otonom terhadap supervisi dan intervensi negara. Baik negara maupun masyarakat madani di dalam konteks perjuangan demokratisasi di negara-negara berkembang, yang diinspirasi oleh pengalaman di Eropa Timur melepaskan diri dari rezim otoriter-otoriter komunisme, pendekatan kedua itu secara teoritis sebagai acuan yang diperlukan eksplanasinya disini. Perspektif masyarakat madani merupakan lawan atau negasi perspektif negara.
Kedua, perspektif yang melihat eksistensi masyarakat madani  dan negara (dalam arti masyarakat politik) sebagai dua entitas yang secara rasional  dan fungsional tidak terpisahkan.  Menurut perspektif ini, baik masyarakat madani maupun negara merupakan  dua istilah yang dapat dipertukarkarkan. Keduanya menggambarkan suatu keadaan politik dimana masyarakat dan negara telah mencapai tahapan yang demoratis; tidak ada lagi pembatasan politik yang semena-mena dari negara terhadap ruang pertumbuhan masyarakat madani, demikian pula orientasi gerakan masyarakat masyarakat madani tidak lagi dalam situasi konfrontatif dengan negara.
Dalam konteks ini, negara melalui aparat individu dan kelembagaannya, terutama eksekutif, tidak lagi mengintervensi dan menekan kehidupan masyarakat madani secara semena mena. istilah suatu keadaan negara (political society) yang demokratis sebagai pengejawantahan (constitutive condition)  masyarakat madani itu sendiri. Perspektif ini lebih memiliki relevansi dengan gambaran realitas kehidupan masyarakat dinegara-negara maju, yang telah mapan sistem politiknya.
Ketiga, perspektif yang melihat hubungan antara negara dan masyarakat madani tidak dalam konteks dyadic sebagai dua entitas yang selalu berhadapan, dalam situasi konflik. Menurut perspektif ini, baik di dalam entitas masyarakat madani maupun negara, secara politik terdapat kekuatan-kekuatan pro demokrasi disatu sisi dan pendukung totalitarisme atau otoritarisme disisi lain. Oleh karena itu maka masyarakat madani tidak identik dengan demokrasi, atau dengan kata lain masyarakat madani tidak dengan sendirinya dapat dianggap demokratis. Baik di dalam domain negara maupun masyarakat madani, terdapat kekuatan-kekuatan potensial yang dapat bekerjasama mewujudkan demokrasi atau menghambat demokrasi.
Meski demikian, perspektif ketiga ini tidak mengabaikan kemungkinan perbedaan-perbedaan kepentingan dalam hubungan antara masyarakat madani dan negara, mengingat eksisteni kedua entitas merupakan dua domain yang berbeda, terpisah dan masing-masing otonom secara institusional dan politis. Secara teoritis perpektif ini dapat digunakan untuk menjelaskan realitas dinegara-negara maju maupun negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
Keempat dalam perspektif pemikiran yang lebih luas apa yang disebut dengan masyarakat madani dipisahkan  dari ketiga entitas lainnya, yaitu negara, masyarakat politik, serta masyarakat ekonomi. Dalam proses analisis terdapat realitas politik.  Menurut perspektif keempat ini, masyarakat madani dan negara tidak dilihat semata sebagai dua aktor yang berhadapan secara ekstrim dan dyadic, tetapi disamping itu perhatian bahkan juga telah diperluas terhdap aktor-aktor lain yang ikut bermain dalam dan berinteraksi dalam arena negara, disamping masyarakat madani yaitu masyarakat politik dan masyarakat ekonomi.
Perspektif keempat ini kelihatan merupakan perspektif alternatif kritis, yang menawarkan kreasi pemahaman konseptual analitis yang lebih luas dalam melihat masyarakat madani. Pengertian masayarakat madani yang sebelumnya  tumpang tindih dan cenderung polemis antara domain negara, domain ekonomi dan domain politik dipecahkan dengan membawanya keluar sebagai entitas berbeda dan terpisah dengan doamin-domain yang disebutkan itu.
Menurut perspektif ini dalam upaya mewujudkan otonomi dan sikap kritisnya, masyarakat madani tidak hanya berhadapan dengan negara tetapi juga masyarakat politik dan masyarakat ekonomi. Perspektif ini secara esensial dapat digunakan tidak hanya untuk memahami realitas negara-negara maju yang telah mapan atau setidaknya sedang menuju proses mapan dari segi praktek demokrasi, namun juga untuk negara-negara berkembang yang masih terkungkung otoritarisme negara. Tetapi kesulitan penerapannya dalam memahami realitas di negara-negara berkembang adalah karena posisi negara demikian kuat dan luas penetrasinya sehingga batas antar keempat doamin tersebut secara politik dan institusional menjadi kabur.
Di negara berkembang pada umumnya termasuk di Indonesia (era orde baru) tidak hanya domain masyarakat madani bahkan domain masyarakat politik dan ekonomi telah mengalami penetrasi negara melalui proses korporatisasi birokratis, dan bentuk penjelmaaan sebagai entitas organik. Oleh karena itu, untuk sebahagian alasan bagi dasar pemikiran tersebut, maka ada yang menganggap bahwa perspektif yang telah tepat untuk menjelaskan realitas masyarakat madani yang telah berkembang  seperti di Indonesia adalah model pemilahan hubungan antara masyarakat madani dan negara.
Demikianlah dari keseluruhan perspektif yang disinggung diatas, perspektif mana yang hendak digunakan maka hal ini tampaknya lebih merupakan opsi pemikiran belaka dan juga tergantung pada realitas politik yang hendak dijelaskan atau diamati, tetapi, tentu saja tidak tertutup kemungkinan pula bagi timbulnya kreasi pemikiran, yaitu mengawinkan atau mempertemukan sudut-sudut pandang yang berbeda itu hingga melahirkan alternatif pemikiran baru. Ini mungkin merupakan tantangan akademis yang membutuhkan pengkajian mendalam.
Tetapi, hal terpenting untuk digaris bawahi disini adalah bahwa bagi realitas negara berkembang, dengan sistem otoritarisme yang sebagian besar memang banyak diterapkan dikawasan bersangkutan, perspektif yang paling berdaya ekspanasi tinggi adalah perspektif yang melihat proses pembentukan masyarakat madani sebagai perjuangan kelompok-kelompok sosial diluar negara untuk memperoleh otonomi. Pengalaman di Indonesia menjelang keruntuhan rezim orde baru Mei 1998, kiranya merupakan contoh amat signifikan atas daya eksplanatif konsep ini dimana realitas masyarakat madani menuju kebangkitan dalam melakukan perlawanan terhadap negara.

3. Masyarakat Madani dan Demokratisasi.

Sebagai titik tolak dari pembahasan tentang masyarakat madani dan demokratisasi adalah mencari penyelesaian dari persoalan tentang ”mungkinkah masyarakat madani tegak dalam sisitem yang tidak demokratis ?” dan ”apa mungkin demokrasi dapat berdiri tegak ditengah masyarakat yang tidak civilized (madani)?”. Dua persoalan ini merupakan pertanyaan yang mendasar dalam menyikapi hubungan antara demokratisasi dengan masyarakat madani. Karena bagaimanapun masyarakat madani dan demokrasi merupakan dua entitas yang korelatif dan saling berkaitan.
Hubungan antara masyarakat madani dan demokratisasi, menurut Dawam Rahardjo, bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokratisasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah masyarakat madani dapat berkembang secara wajar. Dalam kontek ini Nurcholis Madjid pun memberikan metafor tentang hubungan dan keterkaitan antara masyarakat madani dengan demokratisasi. Menurut beliau masyarakat madani merupakan ”rumah” persemaian demokrasi. Perlambang demokrasinya adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Namun demokrasi tidak hanya bersemayam dalam pemilu. Sebab jika demokrasi harus mempunyai ”rumah”, maka rumahnya adalah masyarakat madani. Begitu kuatnya kaitan antara masyarakat madani dengan  demokratisasi, sehingga masyarakat madani dipercaya sebagai ”obat mujarab” bagi demokratisasi, terutama di negara yang demokrasinya mengalami ganjalan akibat kuatnya hegemoni negara. Tidak hanya itu, masyarakat madani kemudian dipakai sebagai cara pandang untuk memahami universalitas fenomena demokratisasi diberbagai kawasan dan negara.18
Menyikapi keterkaitan masyarakat madani dengan demokratisasi ini, Larry Diamond19 secara sistematis menyebutkan ada enam (6) konstribusi masyarakat madani terhadap proses demokrasi. Pertama, ia menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi,. kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat negara. Kedua, pluralisme dalam masyarakt madani, bila di organisir akan menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokratis. Ketiga, memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat, ikut menjaga stabilitas negara; Kelima, tempat menggembleng pimpinan politik dan Keenam, mengahalangi  dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim. Lebih jauh Diamond menegaskan bahwa suatu organisasi betapapun otonomnya, jika ia menginjak-injak prosedur demokrasi seperti toleransi, kerjasama, tanggungjawab, keterbukaan dan saling percaya, maka organisasi tersebut tidak akan mungkin menjadi sarana demokrasi.
Pada dasarnya dalam proses demokratisasi secara keseluruhan, tidaklah bertolak penuh pada penguatan dan kekuatan masyarakat madani, sebab ia bukan”penyelesai” tunggal ditengah kompleksitas problematik demokrasi. Masyarakat madani lebih bersifat komplementer dari berbagai strategi demokrasi yang selama ini sudah berkembang, Bedanya, jika dalam strategi ”konvensional” lebih menekankan pada formulasi dari ”atas”, dengan bentuk institusionalisasi lembaga-lembaga politik, distribusi kekuasaan pemerintah, perwakilan berbagai golongan dan sebagainya. Sedangkan masyarakat madani lebih merupakan strategi yang berporos pad lapisan ”bawah”. Yakni dengan bentuk pemberdayaan dan penguatan masyarakat sipil.
Selain itu, sebagai bagian dari strategi demokratisasi, masyarakat madani memiliki perspektif sendiri dalam perjuangan demokrasi dan memilki spektrum yang luas dan berjngka panjang. Dalam perspektif masyarakat madani, demokratisasi tidak hanya dimaknai sebagai posisi dimetral dan antitesa negara, melainkan bergantung pada situasi dan kondisinya. Ada saatnya demokratisasi melalui masyarakat madani harus garang dan keras terhadap pemerintah, namun ada saatnya masyarakat madani juga harus ramah dan lunak.
Menyikapi hal tersebut, Jhon Keane mengilustrasikan bahwa masyarakat madani bukanlah musuh bebuyutan negara juga bukan sahabat kental negara. Tatanan  yang lebih demokratis tidak bisa dibangun melalui kekuasaan negara, tetapi juga tidak bisa dibangun tanpa kekuasaan negara, sebab jika legitimasi kekuasaan runtuh, masyarakat madani  pun terancam mengalami fragmentasi. Lebih jauh Azyumardi Azra mengatakan bahwa masyarakat madani lebih dari sekedar gerakan pro demokrasi. Masyarakat madani lebih mengacu pada kehidupan masyarakat yang berkualitas dan tamaddun (civility). Dengan nada serupa, Henningsen mengungkapkan bahwa masyarakat madani bukanlah sekedar gerakan anti-totaliter, tetapi lebih merefleksikan fungsi kebaikan masyarakat modern      (a well fungtioning modern society).
Berkaitan dengan demokratisasi ini, maka menurut M. Dawam Rahardjo20 ada beberapa asumsi yang berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembangkan apabila masyarakat madani menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri, melalui perlawanan terhadap negara ataupun melalui proses pemberdayaan (termasuk pemerintah). Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan efisiensi institusi melalui interaksi, perimbangan dan pembagian kerja yang saling memperkuat antara negara dan pemerintah sendiri. Ketiga, demokratisasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian atau independensi masyarakat madani dari tekanan dan kooptasi negara.
Jadi membicarakan hubungan masyarakat madani dengan demokratisasi merupakan discourse yang memiliki hubungan korelatif dan berkaitan erat. Dalam hal ini Arief Budiman21 mengatakan bahwa berbicara mengenai demokratisasi biasanya orang akan berbicara tentang interaksi antara negara dan masyarakat madani. Asumsinya adalah, jika masyarakat madani vis a vis negara relatif kuat maka demokratisasi akan tetap berlangsung. Sebaliknya, jika negara kuat dan masyarakat madani lemah maka demokratisasi tidak berjalan. Dengan demikian demokratisasi dipahami sebagai proses pemberdayaan masyarakat madani.

4.   Masyarakat Madani di Indonesia.

Seperti diketahui bahwa masyarakat madani merupakan wacana yang berkembang dan berasal dari kawasan Eropa Barat. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan dan perkembangan wacana tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial kultural, politik dan ekonomi yang berkembang saat itu. Sementara di Indonesia, ”Apakah sama dengan kondisi di Eropa Barat”? , dan ”Apakah wacana itu dapat berkembang subur di Indonesia”? Serta apakah di Indonesia sudah cukup memiliki piranti bagi terwujudnya masyarakat madani?”. Persoalan tersebut merupakan gerbang dari usaha menganalisa kemungkinan dari masyarakat madani di Indonesia.
Sosok masyarakat madani bagaikan barang antik yang memiliki daya tarik yang amat mempesona. Kehadirannya yang mampu menyemarakkan wacana politik kontemporer dan meniupkan arah baru pemikiran politik, bukan dikarenakan kondisi barangnya yang sama sekali baru melainkan disebabkan tersedianya momentum kondusif bagi pengembangan masyarakat yang lebih baik.
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dalam menjalankan roda pemerintahannya. Berbicara mengenai kemungkinan berkembangnya masyarakat madani di Indonesia, diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbgai lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial kontrol. Sejak zaman orde lama dengan rezim demokrasi terpimpinnya Soekarno sudah terjadi manipulasi peran serta masyarakat untuk kepentingan politis dan terhegemoni sebagai alat legitimasi politik. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kegiatan dan usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat dicurigai sebagai kontra revolusi. Fenomena tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa di Indonesia pada masa Soekarno pun mengalami kecenderungan untuk membatasi gerak dan kebebasan publik dalam mengeluarkan pendapat.
Sampai pada masa Orde Baru pun pengekangan demokrasi dan penindasan Hak Asasi Manusia tersebut kian terbuka seakan menjadi tontonan gratis yang bisa dinikmati oleh siapapun bahkan oleh segala usia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai contoh kasus yang pada masa orde baru berkembang. Misalnya kasus pembredelan lembaga pers seperti : AJI, Detik dan Tempo. Fenomena ini merupakan fragmentasi kehidupan yang mengekang kebebasan kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya dimuka umum, apalagi ini dilakukan pada lembaga pers yang notabene memiliki fungsi sebagai bagian dari sosial kontrol, dalam menganalisa dan mensosialisasikan berbagai kebijakan yang betul-betul merugikan masyarakat. Selain itu, banyak terjadi pengambil alihan hak tanah rakyat oleh penguasa dengan alasan pembangunan, juga merupakan bagian dari penyelewengan dan penindasan Hak Asasi Manusia karena hak atas tanah yang secara sah memang dimiliki oeh rakyat, dipaksa dan diambil alih oleh penguasa hanya karena alasan pembangunan yang sebenarnya bersifat semu. Disisi lain, pada era orde baru banyak terjadi tindakan-tindakan anarkisme yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Hal ini salah satu indikasi bahwa di Indonesia pada saat itu tidak dan belum menyadari toleransi dan semangat pluralisme.
Melihat itu semua maka secara esensial Indonesia membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaannya sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Dalam hal ini menurut Dawam ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani di Indonesia.
  1. Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. Bagi penganut paham ini pelaksanaan demokrasi liberal hanya ingin menimbulkan konflik, dan karena itu menjadi sumber instabilitas politik. Saat ini yang diperlukan adalah stabilitas politik / sebagai landasan pembangunan, karena pembangunan lebih-lebih yang terbuka terahadap perekonomian global membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian persatuan dan kestuan bangsa lebih diutamakan dari dari demokrasi.
  2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya pembanguan ekonomi sejak awal dan secara bersama-sama diperlukan proses demokratisasi yang pada esensinya adalah memperkuat partisipasi politik. Jika kerangka kelembagaan ini diciptakan, maka akan dengan sendirinya timbul masyarakat madani yang mampu mengontrol terhadap negara.
  3. Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagi basis yang kuat  kearah demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik terutama pada golongan menengah yang makin luas.
Ketiga model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hikam bahwa di era transisi ini harus dipikiran prioritas-prioritas pemberdayaan dengan cara memahami target-target grup yang paling strategis serta menciptakan pendekatan-pendekatan yang tepat dalam proses tersebut. Untuk keperluan itu maka keterlibatan kaum cendekiaan, LSM, Ormas sosial dan keagamaan serta mahasiswa adalah mutlak adanya karena merekalah yang memiliki kemampuan dan sekaligus aktor pemberdayaan tersebut.
Berdasarkan tiga strategi tersebut diatas, pengembangan masyarakat madani dan demokratisasi selayaknya tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan tersebut. Sebaliknya, untuk mewujudkan masyarakat madani yang seimbang dengan kekuatan negara dibutuhkan gabungan strategi dan paradigma. Setidaknya tiga paradigma ini bisa dijadikan acuan dalam pengembangan masyarakat madani dan demokratisasi di masa transisi sekarang melalui cara :
  1. Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah untuk berkembang menjadi kelompok masyarakat madani yang mandiri secara politik dan ekonomi. Dalam pandangan ini, negara harus menempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator bagi pengembangan ekonomi nasioanal.Tantangan pasar bebas dan demokrasi global mengharuskan negara mengurangi perannya sebagai aktor dominan dalam proses pembangunan masyarakat madani yang tangguh.
  2. Mereformasi sistem poltik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Sikap pemerintah untuk tidak mencampuri atau mempengaruhi putusan hukum yang dilakukan oleh lembaga yudikatif merupakan salah satu komponen penting dari pembangunan kemandirian lembaga demokrasi.
  3. Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi warga negara secara keseluruhan. Pendidikan politik yang dimaksud adalah pendidikan demokrasi yang dilakukan secara terus menerus melalui keterlibatan semua unsur masyarakat melalui prinsip pendidikan demokratis, yakni pendidikan dari, oleh dan untuk warga negara.
Tentang masyarakat madani di Indonesia, menurut Dawam Rahardjo, masyarakat madani masih merupakan lembaga-lembaga yang dihasilkan oleh sistem politik yang represif. Ciri kritisnya lebih menonjol dari pada ciri konstruktifnya. Mereka, lebih banyak melakukan protes daripada mengajukan solusi, lebih banyak menuntut daripada memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah.

Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan diatas, maka dapat diketahui bahwa untuk mewujudkan masyarakat madani dan demokratisasi dalam segala aspek kehidupan di negara Indonesia ini, peranan negara yang kuat tetap diperlukan. Jadi, tidak berarti bahwa dengan tumbuhnya masyarakat madani, maka negara menjadi pasif. Justru keduanya saling membutuhkan. Negara itu sendiri pada dasarnya justru di tuntut berperan sebagai jaminan bagi terciptanya tertib politik dan sosial (political and social order), disisi lain masyarakat madani memanfaatkan peluang untuk menciptakan ruang kreatif yang tersedia guna meraih otonomi dan kemandiriannya secara kondusif. Demokratisasi bukanlah hadiah dari penguasa atau kekuatan otoritatif lainnya, tapi sebagai proses pemberdayaan masyarakat madani. Strategi pemberdayaan masyarakat madani antara lain; Pertama; mementingkan integritas nasional dan politik. Kedua, mengutamakan reformasi sistem politik demokratis dan Ketiga, membangun masyarakat madani sebagi basis yang kuat. Masyarakat Madani adalah sebuah tatanan kehidupan yang menginginkan kesadaran hubungan antar warga negara dengan negara atas dasar prinsip saling menghormati. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antara warga negara dan negara. Masayarakat madani tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban melainkan juga haris meghormati equal rights, memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak dan kebebasan yang sama. Dengan demikian hubungan masyarakat madani dengan demokratisasi adalah merupakan hubungan yang korelatif dan berkaitan erat.

















End Notes
1.     Istilah masyarakat madani diungkapkan Anwar Ibrahinm seraya menyinggung tesis Gellner mengenai dua bentuk budaya yang telah mewarnai tahap perkembangan masyarakat Islam, yaitu budaya tinggi (high culture) yang dicapai dalam perkembangan rasionalitas masyarakat kota dihadapkan dengan budaya rendah (low culture) dalam masyaraakt desa , meskipun pemisahan kedua corak budaya itu tidak berlaku tegas. Lihat pengantar Aswab Mahasin dalam Ernest Gellner, Masyarkat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan (Bandung : Mizan,1995).
2.     A. Ubaidillah dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, hal. 304.
3.     Muh. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta : LP3ES, 1999, hal. 28
4.     M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, Jakarta : LP3 ES, 1999, hal. 54.
5.     Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani, Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 1999, hal. 155.
6.     A. Ubaidillah dkk, Op. Cit, hal. 302.
7.     Jean L. Coehn dan Andrew Arato, Civil Society, and Political Theory, Massachusets : MIT Press, 1992, hal. 9-10.
8.     Jean L. Coehn dan Andrew Arato, Ibid.
9.   Gellner, Ernest, , Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan,. Bandung: Mizan,1995, hal. 6
10.   Muh. AS Hikam, Op. Cit, hal. 3
11. Gramsci sebenarnya terkadang juga mendefinisikan negara sebagai masyarakat politik ditambah masyarakat madani, the state should be undestood not only the aparatus of government, but also the privat aparatus of civil society (negara tidak harus dipahami sebagai lembaga pemerintahan, tetapi juga sebagai lembaga masyarakat madani) Kutipan pendapat Gramsci lihat Danial T. Saparingga, ”Hegemony and logic of the new order” dalam jurnal dinamika HAM, Surabaya ”Pusat Studi HAM Universitas Surabaya Kerjasama Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 21.
12.   Yudi Latief dan Idy Subandi Ibrahim, Bahasa dan Kekuasaan : Politik Wacana di panggung Orde Baru, Bandung : Mizan, 1996, hal. 223
13.   Alfred Stepan, Militer dan Demokratisasi: Pengalaman Brazil dan beberapa negara lain, Jakarta : Grafity, 1996, hal. 13-14
14    Adi Suryadi Culla, Op. Cit, hal. 208.
15.   Muh. AS Hikam, Demokrasi...., Op. Cit, hal. 84
16.   Ibid.
17.   Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani... Op. Cit, hal. 200-202.
18.   A. Ubaidillah dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, hal. 252.
19.    Ibid, hal. 253.
20.   M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani...., Op. Cit, Jakarta : LP3 ES, 1999, hal. 72.
21.   A. Ubaidillah dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Loc. Cit.


DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, 1999. Menuju Masyarakat Madani. Cet.Ke-1, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Budiman, Arief, 1990. State and Civil Society. Clayton:Monash Paper Southeast Asia No.22

Culla, Adi Suryadi. 1999, Masyarakat Madani Pemikiran, Teori dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi, Jakarta:Rajagrafindo Persada..

_________,2006. Rekontruksi Civil Society Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Jakarta: LP3ES,

Deden, M.Ridwan, dan Nuryulianti, Dewi (Penyunting), 1999, Pengembangan Msayarakat madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia, cet. Ke-1, Jakarta:LSAF.

Gellner, Ernest, 1995, Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan, cet.ke-1. Bandung.

Hikam, Muhammad AS, 1999, Demokrasi dan Civil Society, cet. ke-2, Jakarta: LP3ES.

Jean L. Coehn da Andrew Arato, 1992, Civil Society, and Political Theory, Massachusets : MIT Press.

Madjid, Nurcholish, 2000. ”Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani”, dalam makalah lokakarya Islam dan Pemberdayaan Civil Society di Indonesia, Kerjasama IRIS Bandung-PPIM Jakarta-The Asia Foundation.

Mahfudz, Moh.MD, 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta : Gamma Media Sukma.

Rahardjo, M. Dawam, 1999. Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, cet. Ke-1, Jakarta : LP3ES.

Thoha, Miftah, 2002, Birokrasi dan Poltik di Indonesia, Jakarta: Raya Grafindo Persada.

Triwibowo, Darmawan, 2006, Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi Demokratisasi, Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakars.


*) Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung

No comments:

Post a Comment