Wednesday, March 14, 2012


[1]MAKNA DAN PERANAN FREIES ERMESSEN SEBAGAI
PERATURAN KEBIJAKSANAAN DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Artikel
Oleh :
Zuhraini

Korespondensit : Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Jln. Letkol H. Endro Suratmin Sukarame 1 Bandar LAmpung 35131, Telp/Fax.0721-703289
E-mail: putihdoh_65@yahoo.co.id

Abstrak : Penyelenggaraan urusan pemerintah dalam suatu negara hukum  bersendikan pada asas legalitas. Akan tetapi dalam kenyataan yang terjadi  peraturan  perundang-undangan sebagai hukum tertulis itu memiliki kekurangan dan kelemahan. Untuk mengisi kelemahan dari asas legalitas itu, Pemerintah diberikan keleluasaan untuk mengambil kebijaksanaan dalam rangka memperlancar administrasi negara atau dikenal dengan istilah Freies Ermessen. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis peranan Freies Ermessen sebagai peraturan kebijaksanaan dalam HAN. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan analisis yuridis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara dapat dimanfaatkan untuk mengisi celah atau kekosongan hukum (rechtvacuum), sehingga memperlancar gerak administrasi negara. Dengan demikian Freies Ermessen berperan dalam mengisi, melengkapi dan mengembangkan Hukum Administrasi Negara.

            Key words: Freies Ermessen, Asas Legalitas, Kebijaksanaan dalam HAN.

I. Pendahuluan

          Perkembangan konsep “Negara hukum”[2] sekarang ini telah menghasilkan suatu konsep Negara  hukum kesejahteraan (social service state; welvaarstaat). Dalam suatu Negara hukum yang demikian ini, tugas negara sebagai servis publik adalah menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial (yang oleh Lemaire disebutnya dengan : bestuurszorg) bagi masyarakatnya. Jadi, tugas negara bukan hanya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban saja. Oleh karena itulah maka negara melakukan campur tangan hampir disetiap sektor kehidupan masyarakat, yang menyebabkan semakin besarnya keterlibatan administrasi negara di dalamya.

          Salah satu alasan nyata bagi pertumbuhan kekuasaan ketertlibatan administrasi negara di dalamnya. Administrasi negara di                negara-negara demokrasi modern adalah dengan pudarnya falsafah laissez faire dan meningkatnya peranan negara dalam bidang sosial-ekonomi. Seperti diketahui,  laissez faire menginginkan sedikitnya peranan negara dalam mengontrol usaha-usaha pribadi dalam masyarakat dan besarnya peranan individu dalam melakukan kebebasan berkontrak. Falsafah ini ternyata justru menimbulkan penderitaan bagi manusia, karena ia mengakibatkan terjadinya eksploitasi oleh orang yang kuat terhadap kelompok orang-orang yang lemah. Berdasarkan hal tersebut maka timbul pemikiran-pemikiran mengenai konsep negara kesejahteraan.

          Freidmann[3] dalam bukunya The Rule Of Law and The Welfare State menyebutkan adanya lima fungsi dari negara kesejahteraan, yaitu sebagai protector, provider, regulator, enterprenour dan sebagai arbitrator. Dalam rangka menjalankan fungsi ini, negara-negara harus memiliki lembaga-lembaga dan standar perlakukan yang menjalankan terselenggaranya kesejahteraan sosial. Sebagai wakil rakyat secara keseluruhan, negara harus mengatur dan menjalankan keadilan diantara sektor-sektor masyarakat yang berbeda. Lembaga dan standar perlakuan tadi dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya keadilan dan kesejahteraan masyarakat, dan hal tersebut diatur melalui hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara.  

            Perkembangan konsep negara hukum seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, erat kaitannya dengan peranan hukum administrasi didalamnya. Pada konsep Polizeistaat boleh dikatakan belum berkembang Hukum Administrasi Negara, barulah ada nachtwakerstaat Hukum administrasi Negara mulai muncul, meskipun sangat terbatas. Pada Welvarestaat peranan Hukum administrasi Negara semakin luas dan dominan. Hal ini menunjukkan semakin aktifnya negara terlibat dan melakukan campur tangan pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Adalah sukar membayangkan suatu negara modern saat ini tanpa adanya Hukum Administrasi Negara di dalamnya.

            Selain itu, secara historis asas  pemerintahan berdasarkan undang-undang berasal dari pemikiran hukum abad ke-19 berjalan seiring dengan keberadaan negara hukum klasik atau negara hukum liberal (de liberale rechtsstaatidee) dan dikuasai oleh pemikiran hukum legalistik-positivistik, terutama pengaruh aliran hukum legisme, yang menganggap hukum hanya apa yang tertulis dalam undang-undang.[4] Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Dengan kata lain, asas legalitas dalam gagasan negara hukum liberal memiliki kedudukan sentral atau sebagai suatu fundamen dari negara hukum (als een fundamenten van de rechtsstaat).[5]

Akan tetapi mengingat sedemikian luasnya aspek kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan itu, maka sudah barang tentu tidak setiap permasalahan yang dihadapai dan tindakan yang akan diambil oleh administrasi negara telah tersedia aturannya. Dalam keadaan seperti ini membawa administrasi negara kepada suatu konsekuensi khusus, yaitu memerlukan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting yang timbul dimana peraturan penyelesaiannya belum ada. Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksaaan sendiri ini, dalam hukum Administrasi Negara disebut dengan pauvoir discretionnaire atau Freies Ermessen.[6]

Adanya  Freies Ermessen ini bukannya tidak menimbulkan masalah akan kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak warga negara semakin besar, karena seperti yang telah disebutkan  sebelumnya, bahwa penyelenggaraan urusan pemerintah dalam suatu negara hukum itu bersendikan pada peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip yang dianut dalam suatu negara hukum yaitu asas legalitas. Tetapi karena peraturan  perundang-undangan sebagai hukum tertulis itu mengandung kekurangan dan kelemahan, maka keberadaan peraturan kebijaksanaan menempati posisi penting terutama dalam negara hukum modern.[7] Oleh karena itu bagaimana mengontrol kekuasaan administrasi negara agar tidak disalahgunakan (yang tercermin melalui onrechtmatigegoverheidsdaad, deutournement de pouvoir atau ultra vires ataupun abus de droit), merupakan permasalahan yang relevan untuk dikaji.

Disini arti pentingnya peranan Hukum Administrasi Negara, sebab disuatu pihak ia dipergunakan untuk memungkinkan agar administrasi negara dapat menjalankan fungsinya (sebagai landasan kerja), tetapi di lain pihak Hukum Administrasi Negara diperlukan untuk melindungi warga masyarakat terhadap sikap tindak administrasi negara dan untuk melindungi administrasi negara itu sendiri.[8]

Agar Freies Ermessen yang ada pada administrasi Negara tersebut tidak disalahgunakan, maka diperlukan adanya tolak ukur pembatasan terhadap penggunaannya. Dengan perkata lain ada batas toleransi yang mesti dipenuhi oleh administrasi negara dalam menggunakan Freies Ermessen ini.

Berdasarkan uraian diatas nyatalah bahwa Freies Ermessen mempunyai kedudukan yang cukup penting dalam Hukum Administrasi Negara, sehingga adanya kajian mengenai makna dan peranan Freies Ermessen Sebagai Peraturan Kebijaksanaan dalam Hukum Administrasi Negara akan menjadi penting untuk diteliti.

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN
           
Materi yang dibahas dalam penelitian ini berkaitan dengan Freies Ermessen dan Kebijaksanaan Pemerintah dalam Hukum Administrasi Negara. Berdasarkan materi tersebut disusun permasalahan mengenai aspek hukum peranan Freies Ermessen sebagai peraturan kebijaksanaan dalam HAN. Sedangkan  metode penelitian yang dipergunakan adalah metode normatif, dengan studi pustaka. Data-data tersebut berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, kemudian dianalisis melalui yuridis kualitatif.

III. Pembahasan
A.    Pengertian Peraturan Kebijaksanaan

Di dalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi negara, pemerintah banyak mengeluarkan kebijaksanaan yang dituangkan dalam berbagai bentuk seperti beleidslijnen (garis-garis kebujaksanaan), het beleid (kebijaksanaan), voorschriften (peraturan-peraturan) , richtlijnen (pedoman-pedoman), regelingen (petunjuk-petunjuk), circulaires (surat edaran), resoluties (resolusi-resolusi), aanschrijvingen (instruksi-instruksi), beleidsnota’s (nota kebijasanaan), reglemen (ministriele) (peraturan-peraturan menteri), beschikkingen (keputusan-keputusan),  en bekenmakingen (pengumuman-pengumuman).[9] Menurut Philipus M. Hadjon, peraturan kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebrancht schricftelijk beleid”, yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis.[10] Peraturan kebijaksanaan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan  sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. Peraturan ini semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum. Oleh karena itu, peraturan ini  disebut pula dengan istilah psudo-wetgeving (perundang-undangan semu) atau spigelsrecht  (hukum bayangan/cermin).

Secara praktis kewenangan diskresioner administrasi negara yang kemudian melahirkan peraturan kebijaksanaan mengandung dua aspek pokok. Pertama, kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya. Aspek pertama ini lazim dikenal dengan  kebebasan menilai secara objektif. Kedua, kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki administrasi negara itu dilaksanakan. Aspek kedua ini dikenal dengan kebebasan menilai yang bersifat subjektif.[11] Kewenangan bebas untuk menafsirkan secara mandiri dari pemerintah inilah yang melahirkan peraturan kebijaksanaan. P.J.P. Tak[12] menjelaskan peraturan kebijaksanaan sebagai berikut :
 Beleidsregels zijn algemene regels die een bestuursinstantie stelt omtrent de uitoefening van een bestuursbevoegdheid jegens de burgers of een andere bestuursinstantie en voor welke regelstelling de grondwet noch de formele wet direct of indirect een uitdrukkelijke gronslag biedien. Beleidsregels berusten dus niet op een bevoegdheid tot wetgeving-en kunnen daarom ook geen algemeen verbindende voorschriften zijn-maar op een bestuursbevoedgheid van een bestuursorgaan en betreffen de uitoefening van die bivoegdheden.”
(Peraturan kebijaksanaan adalah peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintahan berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung maupun tidak langsung. Artinya peraturan kebijaksanaan tidak didasarkan pada kewenangan pembuatan undang-undang dan oleh karena itu tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum- tetapi dilekatkan pada wewenang pemerintahan suatu organ admnistrasi negara dan terkait dengan pelaksanaan kewenangannya).

Commissie Wetgevingsvraagstukken merumuskan peraturan kebijaksanaan sebagai, “Een algemene regel omtrent de uitoefening van een bestuursbevoegdheid jegens de bestuurden (bugers, maar ook andere bestuursorganen), op eigen gezag vastgesteld door de bevoegde bestuursinstantie zelf of door een hierarchisch hogere bestuursinstantie”[13] (suatu peraturan umum tentang pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara {warga negara, juga organ pemerintah lainnya} ditetapkan berdaskan kekuasaan sendiri oleh instansi pemerintahan yang berwenang atau instansi pemerintahan  yang secara hirarki lebih tinggi). Peraturan kebijaksanaan secara esensial berkenaan dengan: (1) een bestuursorgaan met in casu uitsluitend de bevoegdheid tot het verrichten van bestuurshandelingen (organ pemerintahan dalam hal ini semata-mata menggunakan kewenangan untuk menjalankan tindakan-tindakan pemerintahan); (2) een bestuursbevoegdheid die niet volstrekt gebonden is (kewenangan pemerintahan itu tidak terikat secara tegas); (3) algemene regels, te hanteren bij de uitoefening van de bevoegdheid (ketentuan umum, digunakan pada pelaksanaan kewenangan).

B.     Ciri-ciri Peraturan Kebijaksanaan

Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan peraturan perundang-undangan. Berikut ini disajikan mengenai ciri-ciri peraturan kebijaksanaan untuk kemudian diperbandingkan dengan peraturan perundang-undangan guna mengetahui kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaannya. J.H. Van Kreveld menyebutkan cirri-ciri peraturan kebijaksanaan adalah sebagai berikut :[14]
a.       De regel is direct noch indirect, gebasserd op geen bepaling in de formele wet of grondwet die uitdrukkelijk een bevoegdheid tot regeling geeft, met andere woorden, de regel heft geen uitdrukkelijke grondslag in de wet.
( Peraturan itu langsung ataupun tidak langsung, tidak didasarkan pada ketentuan undang-undang formal atau UUD yang memberikan kewenangan mengatur, dengan kata lain, peraturan itu tidak ditemukan  dasarnya dalam undang-undang).
b.      De regel is, hetzij ongeschreven en dan ontstaan door een reeks van individuele beslissingen degen door de bestuursinstantie in de uitoefening van the vrije bestuurs bevoegdheid jegens individuele burgers genomen; hetzij uitdrukkelijk vasgesteld door deze bestuursinstantie.
(Peraturan itu, tidak tertulis dan muncul melalui serangkaian keputusan-keputusan instansi pemerintahan dalam melaksanakan kewenangan pemerintahan yang bebas terhadap warga negara, atau ditetapkan secara tertulis oleh instansi pemerintahan tersebut).
c.       De regel geeft in algemene zin, dat wil zeggen zonder aanduiding van individuele burgers, aan hoe de bestuursinstantie bij de uitoefening van de vrije bestuursbevoegdheid zal handelen jegens iedere individuele burger die zich bevint de situatiedie in de regel in omshreven.
(Peraturan itu memberikan petunjuk secara umum, dengan kata lain tanpa pernyataan dari individu warga negara mengenai bagaiamana instansi pemerintahan melaksanakan kewenangan pemerintahannya yang bebas terhadap setiap individu warga negara yang berada dalam situasi yang dirumuskan dalam peraturan itu).

            Bagir Manan menyebutkan ciri-ciri peraturan kebijaksanaan sebagai berikut:
a.       Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
b.      Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perudang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan.
c.       Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut.
d.      Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan freies Ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat pertauran perundang-undangan.
e.       Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan kepada doelmatigheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak.
f.       Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman, dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.[15]

Berdasarkan ciri-ciri tersebut, tampak ada beberapa persamaan antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan kebijaksanaan. A. Hamid Attamimi menyebutkan unsur-unsur persamaannya adalah sebagai berikut:
a.       Aturan yang berlaku umum
Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijaksanaan mempunyai adresat atau subjek norma dan pengaturan prilaku atau objek norma yang sama, yaitu bersifat umum dan abstrak (algemene regeling atau algemene regel).
b.      Peraturan yang berlaku ‘ke luar’
Peraturan perundang-undangan berlaku ‘ke luar’ dan ditunjukan kepada masyarakat umum (naar buiten werkend, tot een ieder gericht), demikian juga peraturan kebijaksanaan berlaku ‘ke luar’ dan ditujukan kepada masyarakat umum yang bersangkutan.
c.       Kewenangan pengaturan yang bersifat umum/publik
Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijaksanaan ditetapkan oleh lembaga/pejabat yang mempuyai kewenangan umum/publik itu.[16]

            Disamping terdapat kesamaan, adapula beberapa perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan kebijaksanaan. A. Hamid Attamimi menyebutkan perbedaaan-perbedaannya adalah sebagai berikut :
a.       Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi negara
Pembentukan hukum melalui perundang-undangan dilakukan oleh rakyat sendiri, oleh wakil-wakil rakyat atau sekurang-kurangnya dengan persetujuan wakil-wakil rakyat. Kekuasaan dibidang perundang-undangan atau kekuasaan legislatif hanya diberikan kepada lembaga yang khusus untuk itu, yaitu lembaga legislative (sebagai organ kenegaraan, yang ertindak untuk dan atas nama Negara,pen).
b.      Fungsi pembentukan peraturan kebijaksanaan ada pada pemerintah dalam arti sempit (eksekutif).
Kewenangan pemerintah dalam arti sempit atau ketataprajaan (kewenangan eksekutif) mengandung juga kewenangan pembentukan peraturan-peraturan dalam rangka penyelenggaraan fungsinya. Oleh karena itu, kewenangan pembentukan peraturan kebijaksanaan yang bertujuan mengatur lebih lanjut penyelenggaraan pemerintahan senantiasa dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan penyelenggaraan pemerintah.
c.       Materi muatan peraturan perundang-undangan berbeda dengan materi muatan peraturan kebijaksanaan.
Peraturan kebijaksanaan mengandung materi muatan yang  berhubungan dengan kewenangan membentuk keputusan-keputusan dalam arti beschikkingen, kewenangan bertindak dalam bidang hukum privat, dan kewenangan membuat rencana-rencana (planen) yang memang ada pada lembaga pemerintahan. Sementara itu, materi muatan peraturan perundang-undangan mengatur tata kehidupan masyarakat yang jauh lebih mendasar, seperti mengadakan suruhan dan larangan untuk berbuat atau tidak berbuat, yang apabila perlu disertai dengan sanksi pidana dan sanksi pemaksa.
d.      Sanksi dalam peraturan perundang-undangan dan pada peraturan kebijaksanaan
Sanksi pidana dan sanksi pemaksa yang jelasa mengurangi dan membatasi hak-hak asasi warga negara dan penduduk hanya dapat dituangkan dalam undang-undang yang pembentukannya harus dilakukan dengan persetujuan rakyat atau dengan persetujuan wakil-wakilnya. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah lainya hanya dapat mencantumkan sanksi pidana bagi pelanggaran ketentuannya apabila hal itu secara tegas diatribusikan oleh undang-undang. Peraturan kebijaksanaan hanya dapat mencantumkan sanksi administratif  bagi pelanggaran ketentuan-ketentuannya.[17]

            Mengenai kekuatan mengikat dari peraturan kebijaksanaan ini, diantara para pakar hukum tiadk terdapat kesamaan pendapat. Menurut Bagir Manan, peraturan kebijaksanaan sebagai “peraturan” yang bukan peraturan perundang-undangan tidak langsung mengikat secara hukum tetapi mengandung relevansi hukum. Peraturan kebijaksanaan pada dasarnya ditujukan pada administrasi Negara sendiri. Jadi yang pertama-tama melaksanakan ketentuan yang termuat dalam peraturan kebijaksanaan adalah badan atau pejabat administrasi Negara. Meskipun demikian, ketentuan tersebut secara tidak langsung, akan dapat mengenai masyarakat umum.[18] Indroharto berpendapat bahwa peraturan kebijaksanaan itu bagi masyarakat menimbulkan keterikatan secara tidak langsung. Menurut Hamid Attamimi,[19] peraturan kebijaksanaan mengikat secara umum, karenan masyarakat yang terkena peraturan itu tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikutinya. Menurut Marcus Lukman, kekuatan mengikat pertauran kebijaksanaan ini tergantung jenisnya. Peraturan kebijaksanaan intra-legal dan kontra-legal yang pembentukannya berdasarkan kebebasan mempertimbangkan intra-legal menjadibagian integral dari tata hierarki peraturan perundang-undangan. Kekuatan mengikatnya juga berderajat peraturan perundang-undangan. Adapun peraturan kebijaksanaan ekstra-legal dan kontra-legal yang pembentukannya berdasarkan kebebasan mempertimbangkan ekstra-legal tidak memiliki kekuatan mengikat berderajat peraturan perundang-undangan.

            Sebenanya penyelengaraan urusan pemerintahan dalam suatu negara hukum itu bersendikan pada suatu peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip yang dianut Negara hukum yaitu asas legalitas, tetapi karena peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis mengandung kekurangan dan kelemahan, sebagaimana telah disebutkan diatas, keberadaan peraturan kebijaksanaan menempati posisi terpenting terutama dalam negara hukum modern. Menurut Marcus Lukman, peraturan kebijaksanaan dapat difungsikan secara tepat guna dan berdaya guna, yang berarti :
1)      Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan.
2)      Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan.
3)      Tepat guna dan berdaya guna sebagai sara pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar dan adil dalam peraturan perundang-undangan.
4)      Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan untuk mengatasai kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman.
5)      Tepat guna dan berdaya guna bagi kelancara pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi di bidang pemerintahan dan pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaruan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.[20]

Sebagaimana pembuatan dan penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu haus memerhatikan beberapa persyaratan, pembuatan dan penerapan peraturan kebijaksanaan juga harus memeperhatikan beberapa persyaratan. Menurut Indroharto, pembuatan peraturan kebijaksanaan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :[21]
a.       Ia tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan itu.
b.      Ia tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
c.       Ia harus dipersiapkan dengan cermat; semua kepentingan, keadaan-keadaaan serta alternatif-alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.
d.      Isi dari kebijaksanaan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan tersebut.
e.       Tujuan-tujuan dan dasar pertimbangan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas.
f.       Ia harus memenuhi syarat kepastian hukum material, artinya hak-hak yang telah diperoleh dari warga masyarakat yang terkena harus dihormati, kemudian juga harapan-harapan warga yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.

Sementara itu, dalam penerapan  atau penggunaan peraturan kebijaksanaan harus memerhatikan hal-hal diantaranya:
a.       Harus sesuai dan serasi dengan tujuan undang-undang yang memberikan beoordelingsvrijheid (ruang kebebasan bertindak);
b.      Serasi dengan asas-asas hukum umum yang berlaku, seperti:
1)      Asas perlakuan yang sama menurut hukum;
2)      Asas kepatutan dan kewajaran;
3)      Asas keseimbangan;
4)      Asas pemenuhan kebutuhan dan harapan; dan
5)      Asas kelayakan mempertimbangkan segala sesuatu yang relevan dengan kepentingan publik dan warga masyarakat;
c.       Serasi dan tepat guna dengan tujuan yang hendak dicapai.[22]

C.    Pengertian Freies Ermessen

Istilah Freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata  frei dan freie yang artinya: bebas, merdeka, tidak terikat, lepasa dan orang bebas. Sedangkan kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan, dan keputusan.[23] Jadi secara  etimologis Freies Ermessen dapat diartikan sebagai “ orang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan”. Selain itu, istilah Freies Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti: menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak seluruhnya terikat pada undang-undang.[24]

Dalam kepustakaan Ilmu Hukum Administrasi Negara telah banyak pakar yang memberikan batasan mengenai istilah ini. Prajudi Atmosudirdjo[25] mengatakan :
“ ….. asas diskresi (discretie freies ermessen) artinya, pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan ‘tidak ada peraturannya’, dan oleh karena itu diberi kekuasaan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar syarat yuridiktas dan asas legalitas ….”

Senada dengan pendapat tersebut, Sjahran Basah[26] mengatakan bahwa diperlukannya Freies Ermessen oleh administrasi negara itu : “ ….. dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atau inisiatif sendiri …. Terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang penting yang timbul secara tiba-tiba. Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak cepat, membuat penyelesaian. Namun keputusan-keputusan yang diambil untuk menyelesaikan masalah-masalah itu, harus dipertanggungjawabkan.” Pada bagian lain dari buku tersebut Freies Ermessen itu diartikan sebagai “kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu”[27] atau “keleluasan dalam menentukan kebijakan-kebijakan melalui sikap tindak administrasi Negara yang harus dapat dipertanggungjawabkan”.[28]

Amrah Muslimin[29] mengartikan Freies Ermessen sebagai “lapangan bergerak selaku kebijaksanaannya” atau “kebebasan kebijaksanaan”.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikutip sebelumnya, pada hakikatnya tidak terdapat perbedaan yang prinsip, sebab inti hakikat yang terkandung adalah sama, yaitu adanya kebebasan bertindak bagi administrasi negara untuk menjalankan fungsinya secara dinamis guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak, sedangkan aturan itu belum ada. Namun, harus diingat bahwa kebebasan bertindak administrasi tersebut bukan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya dan tanpa batas, melainkan tetap terikat kepada batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh Hukum Administrasi Negara.

Sehubungan dengan hal ini, Hans J. Wolf[30] dalam bukunya Velwartungsrecht jilid I, mengatakan bahwa Freies Ermessen tidak boleh diartikan secara berlebihan seakan-akan badan atau pejabat administrasi negara boleh bertindak sewenang-wenang atau tanpa dasar dan dengan dasar-dasar yang tidak jelas ataupun dengan pertimbangan subjektif-individual. Oleh karena itu, menurut Wolf, lebih baik jika dikatakan mereka bertindak berdasarkan kebijaksanaan.[31]  Berdasarkan uraian tersebut, sebaiknya pengertian Freies Ermessen ini diberikan arti yang netral sebagai: “ …… power to choose between alternative courses of action”.[32]
                         
            Sebagai konsekuensi diberikannya Freies Ermessen administrasi negara, maka administrasi negara memiliki  Pouvoir Discretionaire dan oleh karena itu dapat bertindak sebagai vrijbestuur. Dalam kaitan ini, timbul kekhawatiran dari kaum legis bahwa hal tersebut bertentangan dengan asas legalitas, terutama prinsip wetmatigeheid van bestuur, yang artinya semua perbuatan dalam pemerintahan itu harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan.

            Berkaitan dengan pendapat diatas, penulis berpendapat bahwa dalam suatu negara kesejahteraan, prinsip wetmatigeheid van bestuur tidak dapat lagi dipertahankan secara kaku. Kenyataan ini didukung oleh fakta bahwa apabila prinsip ini dianut secara kaku, maka administrasi negara akan sulit mengantisipasi setiap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, karena setiap saat harus menunggu peraturan perundang-undangan terlebih dahulu. Pada sisi lain, badan legislatif pun tidak dapat sepenuhnya menangani semua perkembangan yang terjadi, disebabkan beberapa kelemahan yang ada padanya, seperti yang dikatakan Sidney Low, bahwa anggota badan legislatif terdiri dari “amatir-amatir” yang tidak sepenuhnya menguasai persoalan, disamping itu besarnya jumlah anggota legislatif pada akhirnya akan menyulitkan dalam mengambil keputusan.

            Itulah sebabnya dalam suatu negara modern, peranan administrasi negara sebagai penyelenggara pemerintahan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan peranan legislative. Sehingga administrasi negara tidak hanya sekedar melaksanakan undang-undang (legisme). Melainkan demi terselenggaranya negara hukum dalam arti materiil, memerlukan adanya Freies Ermessen. Dengan diberikannya Freies Ermessen ini maka administrasi negara tidak dapat lagi menunggu perintah dari badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif. Dalam hal yang demikian administrasi negarakah yang membuat peraturan penyelesaian yang diperlukan itu. Ini berarti bahwa sebagai eksekutif. Hal ini menjadi kenyataan disetiap  welfarestate.

D.    Badan Negara yang memiliki Freies Ermessen

Adanya Freies Ermessen menyebabkan administrasi Negara memiliki kekuasaan bertindak dalam menghadapi persoalan-persoalan yang mendesak dikarenakan aturannya belum ada, yang terwujud melalui kebijakannya. Pada dasarnya hal itu berarti bahwa negara menentukan “apakah hukumannya” bagi persoalan tersebut, dan masalah ini erat kaitannya dengan masalah pertanggungjawabannya.

Untuk melihat siapakah yang dipertanggungjawabkan maka harus diketahui terlebih dahulu badan administrasi Negara mana yang memiliki  Freies Ermessen: apakah legislatif, eksekutif atau yudikatif ?. Jadi dengan adanya kepastian mengenai pemegang Freies Ermessen ini, kita dapat memastikan penanggungjawabnya. Oleh karena itu terlebih dahulu akan diuraikan apa dan siapakah yang dimaksud dengan administrasi Negara itu ?.

Memperhatikan  berbagai batasan mengenai pengertian admnistrasi negara yang terdapat dalam beberapa kepustakaan, penulis mengutip pendapat Sjahran Basah[33] yang menyatakan : “….. adsministrasi Negara, yakni alat perlengkapan Negara (tingkat Pusat dan Daerah), yang menyelenggrakan seluruh kegiatan bernegara dalam menyelenggarakan pemerintahan….”

Memperhatikan sekilas pengertian, timbul kesan bahwa batasan diatas merupakan pengertian dalam arti yang luas. Akan tetapi kita pelajari secara seksama, ternyata kita mendapatkan pengertian administrasi negara dalam arti sempit. Sebab, demikian menurut Sjahran Basah, meskipun dalam rangka “menjalankan seluruh kegiatan bernegara daam menyelenggarakan pemerintahan itu”, Administrasi Negara melakukan sikap tindak yang berwujud tri fungsi, namun hal tersebut janganlah dihubungkan dengan teori triaspolitica dari Montesquieu[34] . Dengan perkataan lain sikap tindak administrasi negara yang berwujud tri fungsi tadi (yang berupa membuat peraturan perundang-undangan dalam arti materil yang bukan berbentuk undang-undang dan berderajat dibawah undang-undang, melakukan tindakan administrasi yang nyata dan aktif, serta menjalankan fungsi peradilan) bukanlah arti Triaspolitica Montesquieu.
      
Jika menggunakan cara berpikir teori sisa (residu theorie atau aftek theorie), pengertian administrasi Negara dapat dipertegas sebagai “ gabungan jabatan aparat administrasi yang dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian dari tugas pemerintah yang tidak dilakukan oleh badan pengadilan maupun badan legislatif [35] Adanya sikap tindak administrasi yang berwujud tri fungsi tersebut merupakan konsekuensi logis dari suatu Negara kesejahteraan. Dalam konteks inilah pentingnya pembicaraan mengenai Freies Ermessen.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa Freies Ermessen memang sebaiknya dipegang oleh pemerintah (eksekutif) beserta seluruh jajarannya, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah. Karena itu dalam penggunaan Freies Ermessen yang melanggar atau merugikan hak warga Negara, maka terhadap pemerintah (eksekutif) dapat diminta pertanggungjawaban melalui pengadilan. Pandangan ini sangat sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Satu hal yang sangat keliru jika Freies Ermessen diberikan kepada badan yudikatif, sebab jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak warga negara, kepada badan manakah  kiranya gugatan warga negara akan ditujukan? Jadi dengan demikian kebebasan yang diberikan kepada hakim itu bukanlah kebebasan atau keleluasaan dalam arti Freies Ermessen, oleh sebab itu substansi atau hakekat dari Freies Ermessen adalah mengenai “kebijakannya”. Jelas bahwa meskipun Freies Ermessen itu pada akhirnya menentukan “apakah hukumannya” terhadap suatu persoalan yang konkret, tetapi dilihat dari hakekat fungsinya berbeda dengan penentuan hukum oleh hakim.

E.     Peranan Freies Ermessen Sebagai Peraturan Kebijaksanaan dalam HAN

Keberadaan peraturan kebijaksanaan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies Ermessen. Oleh karena itu, sebelum menjelaskan peraturan kebijaksanaan, terlebih dahulu dikemukakan mengenai freies Ermessen ini. 

Adanya Freies Ermessen bertolak dari kewajuban pemerintah dalam welfare state, di mana tugas pemerintah yang utama adalah memberikan pelayanan umum atau mengusahakan kesejahteraan bagi warga negara, disamping memberikan pelayanan umum atau mengusahakan kesejahteraan bagi warga negara, dan memberikan perlindungan bagi warga negara. Apabila dibandingkan dengan negara kita, freies Ermessen muncul bersamaan dengan pemberian tugas kepada pemerintah untuk merealisasi tujuan negara seperti yang tercantum dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945. Karena tugas utama pemerintah dalam konsepsi welfare state itu memberikan pelayanan bagi warga negara, muncul prinsip “Pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya atau belum/tidak ada peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar kewenangan  untuk melakukan perbuatan hukum.”

Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas atau freies Ermessen, dalam suatu negara hukum penggunaan freies Ermessen ini harus dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku. Penggunaan freies Ermessen tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Menurut Muchsan pembatasan penggunaan freies Ermessen adalah sebagai berikut :
a.       Penggunaan freies Ermessen tidak boleh bertentangan dengan system hukum yang berlaku (kaidah hukum positif).
b.      Penggunaan freies Ermessen hanya ditujukan demi kepentingan umum.

Sementara itu, Sjahran Basah secara tersirat berpendapat bahwa pelaksanaan freies Ermessen tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan, “Secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama.” Lebih lanjut Sjahran Basah mengatakan bahwa secara hukum terdapat dua batas, yaitu batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas dimaksudkan ketaatan ketentuan perundang-undangan berdasrkan asas taat-atas, yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sementara itu, batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga.

Dalam Ilmu Hukum Administrasi Negara, freies Ermessen ini diberikan hanya kepada pemerintah atau administrasi negara baik untuk melakukan tindakan-tindakan biasa maupun tindakan hukum, dan ketika freies Ermessen ini diwujudkan dalam instrumen yuridis yang tertulis, jadilah ia sebagai peraturan kebijaksanaan. Sebagai sesuatu yang lahir dari freies Ermessen dan yang hanya diberikan kepada pemerintah atau administrasi negara, kewenangan pembuatan peraturan kebijaksanaan itu inheren pada pemerintah (inherent aan het bestuur).

Walaupun sebenarnya penyelenggaran urusan pemerintahan dalam suatu negara hukum itu bersendikan pada peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip yang dianut dalam suatu negara hukum yaitu asas legalitas, tetapi karena peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis itu mengandung kekurangan dan kelemahan, sebagaimana telah disebutkan di atas, keberadaan peraturan kebijaksanaan menempati posisi penting terutama dalam negara hukum modern.

Memperhatikan uraian-uraian sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa Freies Ermessen adalah "Kebebasan atau keleluasaan kehendak bertindak adminitrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tesebut harus dapat dipertanggungjawabkan".

Berdasarkan pengertain diatas, adanya Freies Ermessen dalam lalu lintas hukum administarsi negara, maka para administrasi negara dalam menjalankan fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan kepentingan umum. Sehingga dalam menghadapi hal-hal yang sifatnya penting dan mendesak yang aturannya belum tersedia, administrasi negara atas inisiatifnya sendiri dapat langsung bertindak tanpa menunggu instruksi lagi. Jadi, administrasi negara dapat langsung dengan berpijak kepada asas kebijaksanaan. Dengan demikian sifatnya adalah spontan.

Uraian diatas menunjukkan bahwa Freies Ermessen merupakan pengecualian terhadap asas legalitas dalam arti yang sempit dengan prinsip wetmatigeheid van bestuur-nya. Hak ini bukan berarti dikesampingkannya sama sekali asas legalitas, karena sikap tindak administrasi negara harus dapat diuji berdasarkan peraturan perundang-umdangan lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini tetap dipergunakan asas legalitas, hanya saja dalam pengertian yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Hal ini tercermin dalam rumusan kata " dapat dipertanggungkawabkan ".Sehubungan dengan hal itu, Prajudi Atmosudirdjo[36] menyatakan : " Diskresi diperlukan sebagai pelengkap daripada asas legalitas, yaitu hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang".

Melihat perkembangan yang semakin cepat dalam masyarakat pada suatu negara modern saat ini, maka dituntut pula kesiapan administrasi negara untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi. Dalam hal ini, sudah barang tentu asas legalitas (dalam arti wetmatigeheid van bestuur) tidak dapat lagi di pertahankan secara kaku. Sebab, administrasi negara bukan hanya terompet daripada suatu peratutan perundang-undangan, melainkan dalam melaksanakan tugasnya itu mereka wajib bersikap aktif demi terselenggarnya tugas-tugas servis publik, yang kesemuanya itu tidak dapat ditampung oleh hukum tertulis saja. Oleh karenanya maka diperlukan Freies Ermessen.

Memperhatikan pendapat Sjahran Basah sebagaimana   yang dikemukakan pada uraian sebelumnya, maka implementasi Freies Ermessen melalui sikap tindak administrasi negara ini dapat berwujud :
F Membentuk peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang secara materiil mengikat umum;
F Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual;
F Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif;
F Menjalan fungsi peradilan, terutama dalam hal "keberatan" dan "banding" administrasi.

Bertitik tolak dari beberapa uraian diatas, maka keberadaan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara dapat dimanfaatkan untuk mengisi celah atau kekosongan hukum (rechtvacuum), sehingga memperlancar gerak administrasi negara. Dengan demikian Freies Ermessen berperan dalam mengisi, melengkapi dan mengembangkan Hukum Administrasi Negara.
Memperhatikan uraian-uraian sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa Freies Ermessen adalah "Kebebasan atau keleluasaan kehendak bertindak adminitrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tesebut harus dapat dipertanggungjawabkan".

Berdasarkan pengertain diatas, adanya Freies Ermessen dalam lalu lintas hukum administarsi negara, maka para administrasi negara dalam menjalankan fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan kepentingan umum. Sehingga dalam menghadapi hal-hal yang sifatnya penting dan mendesak yang aturannya belum tersedia, administrasi negara atas inisiatifnya sendiri dapat langsung bertindak tanpa menunggu instruksi lagi. Jadi, administrasi negara dapat langsung dengan berpijak kepada asas kebijaksanaan. Dengan demikian sifatnya adalah spontan.


F.     Simpulan

Berdasarkan beberapa uraian yang telah dikemukakan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.            Dalam suatu negara kesejahteraan, campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dihindarkan lagi. Mengingat sedemikian luasnya tugas servis publik yang harus dilaksanakan, maka administrasi negara memerlukan keluasan bergerak, teruatama dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang mendesak sementara aturan untuk itu belum ada atau belum jelas. Keleluasaan bergerak administrasi negara ini disebut Freies Ermessen.
2.            Sebagai sesuatu yang memberikan "ruang gerak" bagi administrasi negara maka Freies Ermessen dapat berperan dalam mengisi, melengkapi dan  mengembangkan Hukum Administrasi Negara. Sehingga dengan demikian, tidak akan terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam Hukum Administrasi Negara. Menyadari perannya yang demikian itu maka Freies Ermessen membawa konsekwensi "menyimpangi" asas legalitas dalam arti  wetmatigeheid van bestuur. Jadi ia merupakan "perkecualian" dari asas legalitas dalam arti tersebut.
3.            Peraturan kebijaksanaan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggraan tugas-tugas pemerintahan  sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. Peraturan ini semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum. Oleh karena itu, peraturan ini  disebut pula dengan istilah psudo-wetgeving (perundang-undangan semu) atau spigelsrecht  (hukum bayangan/cermin).
4.            Freies Ermessen dalam HAN, merupakan kebebasan atau keleluasaan bertindak administrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatif sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan. Freies Ermessen sebaiknya hanya diberikan kepada administrasi negara dalam arti sempit, yaitu pemerintah (eksekutif) beserta seluruh jajarannya baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah.















DAFTAR PUSTAKA

Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985.

Djenal Husen Koesoemaatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.

Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1978.

Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981.

M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, 1983.

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada , Jakarta, 2007

Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985.

---------- , Beberapa Permasalahan Pokok Sebelum Realisasi Efektif Pengadilan Administrasi, Dimuat dalam "Bunga Rampai HTN dan HAN", FH UII, Yogyakarta, 1987.

SF. Marbun dan Muh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987.


[2] Perkembangan tersebut dimulai dari konsep Negara “nomoi” (Negara hokum) dari Plato, Polizeistaat, nachhtwakerstaat/Negara hokum liberal/ Negara hokum formal (Kant, Fichte, dan Stahl) dan Welvaarstaat/ Negara hokum material/ sociale verzorgingstaat/social service state di Eropa Kontinental. Sedangkan di AngloSxon berkembang konsep “rule of law” dari AV Dicey. Untuk jelasnya lihat : O. Notohamodjojo dalam Makna Negara Hukum, 1970, hlm. 11-35; Sudargo Gautama dalam pengertian Tentang Negara Hukum, 1973; Padmo Wahjono dalam Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, 1983; Serta Soerjono Soekanto dalam Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, 1976, hlm. 49-78.
[3] Dikutip dari MP. Jain dalam Development of administrative Law in Malaysia Since Merdeka yang dimuat dalam The Malayan Law Jounal Supplement, (1977)2MLJ,ms.ii. Lihat juga Sunarjati Hartono dalam Apakah The Rule Of Law itu?, Alumni Bandung, 1976.
[4] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada , Jakarta, 2007, hlm. 95. Lihat juga P. de Haan, et.al., Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, deel 1 (Deventer:Kluwer,1986), hlm. 280.
[5] Ibid, hlm.95.
[6] Sjahran Basah, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hlm.12. Lihat juga E. Utrecht dalam Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH UNPAD, 1960, hlm.23.
[7] Ridwan HR, Op.cit.,  hlm. 191.
[8] Lihat Sjachran Basah dalam Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Admnistrasi Negara, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis XXIX UNPAD, Bandung, 24 September 1986, hlm.4.
[9] Ridwan HR, Op.cit., hlm. 183.
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] P.J.P Tak, Dalam buku Ridawan HR yang berjudul Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada , Jakarta, 2007, hlm. 184.
[13] Ibid, hlm. 185.
[14] Ibid, hlm.185-186.
[15]Ibid, hlm186-187.
[16] Ibid, hlm.187-188.
[17] Ibid, hlm. 188-190.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hlm.191-192.
[21] Ibid.
[22] Ibid, hlm.193.
[23] AdolfHeuken SJ. Kamus Jerman-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1987.
[24] Fockema-Andreae, Kamus Istilah Hukum (Terjemahan  Saleh Adiwinata, et.Al.), Binacipta, Bandung, 1983, hlm.143 dan hlm.98.
[25] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm.85.
[26] Sjahran Basah, Eksistensi ….., op.cit., hlm.151.
[27] Ibid, hlm.219.
[28] Sjahran Basah, Perlindungan Hukum …., Op cit., hlm.2.
[29] Amrah Muslimin, Beberapa Azas dan Pegertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi,Alumni, Bandung, 1985,hlm.73.
[30] Dikutif dari Marcus Lukman dalam Freis Ermessen Dalam Proses Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Kota di Kotamadya Pontianak,Tesis Magister Pda Fakultas Pascasarjana UNPAD, tidak dipublkasikan, 1989, hlm. 145-146.
[31] Ibid.
[32] A.A. de. Smith. Constitutional and Administrative Law, Pinguin Books,5th edition, 1985,p.597.
[33] Sjahran Basah, Perlindungan Hukum ……., Op cit., hlm.2.
[34] Ibid, hlm.5.
[35] E. Utrecht, Op. Cit. hlm. 10.
[36] Prajudi Atmosudirdjo, Op. Cit, Hal. 77-78.

No comments:

Post a Comment