Wednesday, March 14, 2012



KONSEP PRISMATIK NEGARA HUKUM PANCASILA MENUJU PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL YANG PROGRESIF

Oleh : Zuhraini*)



A.      PENDAHULUAN

Istilah negara hukum dalam berbagai literatur tidak bermakna tunggal, tetapi dimaknai berbeda dalam tempus dan locus yang berbeda, sangat tergantung pada idiologi dan sistem politik suatu negara. Karena itu Tahir Azhari[1] dalam penelitiannya sampai pada kesimpulannya bahwa istilah negara hukum adalah satu genus begrip yang terdiri dari lima konsep, yaitu, konsep negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah yang diistilahkannya dengan nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang disebut rechtsstaat, konsep negara hukum rule of law, konsep sosialist legality serta konsep negara hukum Pancasila. Begitu juga Oemar Seno Adji menemukan tiga bentuk negara hukum yaitu rechtsstaat dan rule of law, sosialist legality dan negara hukum Pancasila. Menurut Seno Adji antara rechtsstaat dan rule of law memiliki basis yang sama. Menurut Seno Adji, konsep rule of law hanya pengembangan semata dari konsep rechtsstaat. Sedangkan konsep rule of law dengan sosialist legality mengalami perkembangan sejarah dan ideologi yang berbeda, dimana rechtsstaat dan rule of law berkembang di negara Inggris, Eropa Kontinental dan Amerika serikat. Sedangkan sosialist legality berkembang di negara-negara komunis dan sosialis. Namun ketiga konsep itu lahir dari akar yang sama, yaitu manusia sebagai titik sentral (antropocentric)yang menempatkan rasionalisme, humanisme serta sekularisme sebagai nilai dasar yang menjadi sumber nilai.

Pada sisi lain, konsep nomokrasi Islam dan konsep negara hukum Pancasila menempatkan nilai-nilai yang sudah terumuskan sebagai nilai standar atau ukuran nilai. Konsep nomokrasi Islam mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung pada Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan negara hukum Pancasila menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai standar atau ukuran nilai sehingga kedua konsep ini memiliki similiaritas yang berpadu pada pengkuan adanya nilai standar yang sudah terumuskan dalam naskah tertulis. Disamping itu kedua konsep ini menempatkan Tuhan, manusia, agama dan negara dalam hubungan yang tidak dapat dipisahkan.

Sedangkan dari sisi waktu ternyata konsep negara hukum berkembang dinamis dan tidak statis. Tamanaha[2] mengemukakan dua versi negara hukum yang berkembang, yaitu versi formal dan versi substantif yang masing-masing tumbuh berkembang dalam tiga bentuk. Konsep negara hukum versi formal dimulai dengan konsep rule by law dimana hukum dimaknai sebagai intrumen tindakan pemerintahan. Kemudian berkembang dalam bentuk formal legality, konsep hukum yang diartikan sebagai norma yang umum, jelas, prospektif dan pasti. Sedangkan perkembangan terakhir dari konsep negara hukum versi formal adalah democracy and legality, kesepakatanlah yang menetukan isi atau substansi hukum. Sedangkan versi substansif konsep negara hukum berkembang dari individual rights, dimana privacy dan otonomi individu serta kontrak sebagai landasan yang paling cocok. Kemudian berkembang pada prinsip hak-hak atas kebebasan pribadi dan atau keadilan (dignity of man )serta berkembang menjadi konsep social welfare yang mengandung prinsip-prinsip substantif, persamaan, kesejahteraan serta kelangsungan komonitas.

Menurut Tamanaha konsep formal dari negara hukum ditujukan pada cara dimana hukum diumumkan (oleh yang berwenang), kejelasan norma dan dimensi temporal dari pengundangan norma tersebut. Konsepsi formal negara hukum tudak ditujukan kepada penyelesaian putusan hukum atas kenyataan hukm itu sendiri, dan tidak berkaitan dengan apakah hukum itu dengan tetap mengakui atribut formal yang disebut diatas.  Konsepsi negara hukum substantif ingin bergerak lebih jauh dari itu. Hak-hak dasar atau derivasinya adalah menjadi dasarnya konsep negara hukum substantif. Konsep tersebut dijadikan sebagai fondasi yang kemudian digunakan untuk membedakan antara hukum yang baik yang memenuhi  hak-hak dasar tersebut dan hukum yang buruk yang mengabaikan hak-hak dasar. Konsep formal negara hukum fokus pada kelayakan sumber hukum dan bentuk legalitasnya sementara konsep substantif juga termasuk persyaratan tentang isi dari norma hukum.

Konsepsi negara hukum yang dulu dikesankan menganut rechtsstaat sekarang dinetralkan menjadi negara hukum saja, tanpa label rechtsstaat yang diletakkan didalam kurung. Dengan demikian, poltik hukum kita tentang konsepsi negara hukum menganut unsur-unsur yang baik dari rechtsstaat dan rule of law, bahkan sistem hukum lain sekaligus. Dulu, konsep negara hukum di tegaskan di dalam Penjelasan UUD 1945 dengan kalimat ”Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum ( rechtsstaat ).....,” namun sekarang Penjelasan UUD 1945 sudah tidak berlaku dan pernyataan prinsip negara hukum itu penuangannya di dalam konstitusi dipindahkan ke dalam Pasal 1 ayat (3) dengan kalimat yang netral, yaitu, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”   Persoalannya apakah yang dimaksud dengan negara hukum dalam konsepsi UUD 1945 dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan negara?.   Dengan kerangka berpikir di atas dalam kajian singkat ini, hendak diuraikan secara ringkas bagaimana konsepi negara hukum Indonesia,  perbedaan dan  perbandingannya dengan konsep lain,  Konsep Prismatik Negara Hukum Pancasila dalam kaitannya dengan pembangunan hukum,  Bagaimana  rechtsstaat ataupun rule of law dalam perkembangan pemahaman dan Konsepsi kompilatif dan Implikasinya. 


B.        PEMBAHASAN

I. Konsepsi Negara Hukum

Dalam persfektif teori, kita mengenal beberapa konsep negara hukum sebagai berikut[3]: rechtsstaat, the rule of law, sosialist legality , nomokrasi Islam dan negara hukum Pancasila. Dari berbagai konsep tersebut, konsep yang banyak dikenal di berbagai negara adalah rechtsstaat dan the rule of law. Rechtsstaat lahir dalam abad 19, meskipun wawasannya telah lama ada jauh sebelum itu. Ia timbul setelah tumbuhnya paham tentang negara yang berdaulat dan berkembangnya teori perjanjian mengenai terbentuknya negara serta kesepakatan penggunaan kekuasaannya.  Dalam abad Pertengahan, pandangantentang kekuasaan negara masih didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa raja adalah instansi yang tertinggi ( sang soeverein )[4]. Ia masih dianggap memperoleh kekuasaannya dari Tuhan. Pandangan yang teokratis ini beranggapan bahwa  semua kekuasaan dan hukum terhimpun pada raja, dan karenanya raja pulalah yang merupakan sumber kekuasaan dan hukum tersebut.

Rechtsstaat di Erofa Kontinental merupakan hasil dan proses panjang dari perlawanan ( atau’pekik peperangan’, eine Kampfruf, menurut istilah Theodor Maunz )[5] dari golongan berjois yang menghendaki kebebasan terhadap negara/  kerajaan yang haus kekuasaan. Karena itu rechtsstaat menuntut secara jelas dan tegas adanya pemisahan/pembagian kekuasaan dalam negara, adanya konstitusi tertulis yang menjamin hak-hak dasar warga negara dan hak-hak asasi manusia, adanya kepastian bahwa semua tindakan pemerintah harus berdasar pada undang-undang dasar dan undang-undang, serta adanya peradilan yang merdeka dan bebas untuk mengadili tindakan-tindakan pemerintah yang melanggar hukum, undang-undang dasar, dan undang-undang.[6] 

Sementara konsep the rule of law tumbuh dan berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Menurut Albert Venn (A.V) Dicey dirumuskan dalam tiga pemahaman, yakni supremasi mutlak atau predominance dari hukum ( regular law ), persamaan di depan hukum, dan bahwa konstitusi bukan sumber, melainkan akibat dari hak-hak perseorangan. Selengkapnya, Dicey merumuskan unsur-unsur rule of law adalah sebagai berikut[7]: Supremacy of law, Equality before the law and Results of ordinary law of the land. Dalam paparannya, Dicey antara lain menyatakan bahwa konsepsi ini adalah khas Inggris, namun hal ini tidak sepenuhnyatepat karena unsur pertama (supremacy of law) dan ketiga ( Results of ordinary law of the land ) juga terdapat di negara-negara lainnya. Sedangkan unsur yang kedua, equality before the law, merupakan reaksinya terhadap adanya dualisme pengadilan di Prancis mengenai adanya dua macam peradilan yakni peradilan umum dan peradilan adminstrasi, namun latar belakang dibawanya seseorang ke pengadilan tersebut semata-mata hanya didasarkan atas jabatan yang disandangnya, dan bukan berdasarkan jenis kesalahan yang dilakukannya.  
   
Di Indonesia, istilah negara hukum sudah sangat populer. Pada umunya istilah tersebut dianggap sebagai terjemahan yang tepat dari dua istilah, yaitu rechtsstaat dan the rule of law. Konesp tersebut selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab ia tidak lepas dari soal-soal perlindungan hak-hak asasi manusia. Tetapi antara rechtsstaat dan the rule of law itu masing-masing sebenarnya mempunyai latar belakang dan perlembagaan yang berbeda, meskipun keduanya pada intinya sama-sama menginginkan perlindungan bagi HAM melalui pelembangaan peradilan ynag bebas dan tida memihak. Istilah rechtsstaat banyak dianut di negara-negara Erofa Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law. Sedangkan the rule of law banyak dikembangkan di negara-negara dengan tradisi anglo saxon yang bertumpu pada sistem common law. Kedua sistem yang masing-masing menjadi tumpuan kedua konsep tersebut mempunyai perbedaan titik berat dalam pengoprasiannya. Civil law menitik beratkan administrasi sedangkan common law menitik beratkan judicial. Sementara itu rechtsstaat dan rule of law dengan tumpuannya masing-masing mengutamakan segi yang berbeda. Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian disamaka rechtmatigheid, sedangkan the rule of law mengutamakan equality before the law.

Dengan adanya perbedaan titik berat dalam pengoperasiannya, maka kedua konsep tersebut juga merinci cicri-ciri yang berbeda. Dari ciri-ciri itu dapat dillihat adanya persamaan dan perbedaan antar keduanya. Kedua konsep tersebut sama-sama berintikan upaya memberikan perlindunganbagi HAM yang untuk itu harus diakan pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam negara. Karena dengan itu, pelanggaran atas HAM dapat dicegah atau diminimalkan melalui mekanisme saling mengawasi anatar poros-poros kekuasaan. Tetapi, dalam pelembagaan dalam dunia peradilannya, keduanya menawarkan lingkungan yang berbeda. Pada konsep rechtsstaat terdapat lembaga perdailan adminitrasi yang merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri, sedangkan pada konsep rule of law tidak terdapat peradilan administrasi sebagai lingkungan yang berdiri sendiri.   Sebab didlam konsep the rule of law semua orang dianggap sama kedudukannya di depan hukum sehingga bagi warganegara maupun bagi pemerintah harus disediakan peradilan yang sama.

Dalam pada itu, tercatat bahwa dilihat dari lingkup tugas-tugas pemerintah pada abad 20 telah muncul istilah welfarestate sebagai reaksi terhadap ekses yang timbul dari konsep negara hukum itu. Seperti diketahui, lahirnya konsep negara hukum ( rechtsstaat ) yang begitu revolusioner menentang absoluitsme telah melahirkan pemisahan kekuasaan yang meletakkan pemerintah pada posisi bawah perlemen. Baik rechtsstaat maupun the rule of law, yang merupakan produk abad 19 dan yang menitik beratkan individualisme, telah menjadikan pemerintah sebagai “penjaga malam “ yang lingkup tugasnya sangat sempit terbatas pada     tugas melaksanakan keputusan-keputusan parlemen yang dituangkan di UU. Di dalam konsep negara hukum abad 19 itu, pemerintah dituntut untuk pasif dalam arti hanya menjadi wasit atau pelaksana dari berbagai keinginan rakyat yang dituangkan didlam undang-undang oleh parlemen. Kekuasaan pemerintah dibatasi secara ketat agar tidak terjerumus pada pola absolutisme seperti sebelum lahirnya konsep negara hukum. Pembatasan itu dituangkan didalam konstitusi sehingga paham negara hukum berkait erat dengan konstituailsme yang, menurut Carl.J. Friedrich merupakan gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang disenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang memberi jaminan bahwa kekuasaan ridak dapat disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Konsep negara hukum yang demikian kemudian dikenal sebagai konsep negara hukum formal. Menjelang pertengahan abad 20, tepatnya setelah Perang Dunia I, konsep negara hukum formal mulai mendapat gugatan karena ternyata ia telah menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Individualisme liberal yang mendasari konsep tersebut telah menyebabkan dominannya para pemilik modal dalam lembaga perwakilan rakyat ( parlemen) yang dengan kekakyaannya mereka dapat merekayasa Pemilu untuk mengisi parlemen sehingga wakil-wakil yang terpilih adalah dari kalangan mereka. Parlemen yang didominasi oleh kaum pemilik modal ini kemudian membuat produk hukum yang menguntungkan kaum kapitalis sehingga eksploitasi dari kaum kaya terhadap kaum tak punya mendapatkan landasan hukum.
Mengadapi keadaan yang seperti itu, pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa, karena menurut prinsip negara hukum (formal) pemerintah hanya bertugas sebagai pelaksana UU tanpa boleh turut campur terhadap apa yang dilakukan oleh masyarakat sejauh tidak bertentangan dengan UU. Keadaan seperti inilah, yang kemudian menimbulkan ketidakpuasan dan memunculkan gagasan negara hukum materiil ( welfarestate ). Gagasan ini didorong oleh beberapa faktor, seperti terjadinya paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata, serta kemenanagan beberapa partai sosialis di Eropa. Gagasan negara hukum formal bahwa pemerintah dilarang turut campur dalam kegiatan masyarakat bergeser ke arah  paham baru bahwa pemerintah justru harus bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakatnya yang untuk itu pemerintah harus turut campur dalam kegiatan masyarakat dan tidak boleh bersifat pasif.

Demokrasi, menurut paham baru ini, harus diperluas cakupannya sampai menjangkau masalah sosial   dan ekonomi sehingga tidak membatasi diri pada perlindungan hak sipil dan politik semata. Dalam bidang ekonomi harus ada sistem yang dapat menguasai kekuatan-kkekuatan ekonomi dan mampu memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi, teruatama untuk mengatasi ketidak merataan distribusi  kekayaan di kalangan rakyat. Untuk itu, pemerintah diberi kewenangan yang luas dengan “Freies ermessen” , yakni kewenangan untuk campur tangan dalam berbagai kegiatan masyarakat dengan cara-cara pengaturan, penetapan, dan materiale daad. Perumusan ciri negara hukum dari konsep rechtsstaat maupun the rule of law  sebagaimana dikemukakan oleh FJ Stahl dan AV Dicey kemudian diintegrasikan pada perincian baru yang lebih memungkinkan pemerintah bersikap aktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Perumusan kembali ciri-ciri tesebut, antara lain, dihasilkan oleh International Commission of Jurists yang pada konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, mencirikan konsep negara hukum yang dinamis atau konsep negara hukum materiil sebagai berikut.
1.      Perlindungan konstitusional, artinya, selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atau hak-hak dijamin.
2.      Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3.      Adanya pemilihan umum yang bebas.
4.      Adanya kebebasan menyatakan pendapat.
5.      Adanya kebebasan berserikat/ berorganisasi dan beroposisi.
6.      Adanya pendidikan kewargaanegaraan.

Dalam pada itu, selain dilihat dari lingkup tugas pemerintah, perbedaan antara negara hukum dalam arti formal dan dalam arti materiil dapat juga dilihat dari segi materi hukumnya. Negara hukum dalam arti formal didasarkan pada paham legisme yang berpandangan bahwa hukum itu sama dengan UU sehingga tindakan menegakakan hukum berarti menegakkan UU atau apa yang telah ditetapkan oleh badan legislatif; sedangkan negara hukum dalam arti materiil melihat bahwa hukum itu bukan hanya yang secara formal ditetapkan oleh lembaga legislatif, tetapi yang nilai keadilannya dijadikan hal penting. Seperti yang berlaku di Inggris, misalnya, bisa saja UU dikesampingkan bilamana  ia bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena itu, penegakan hukum itu berati penegakan keadilan dan kebenaran.

II. Debat Konsep Negara Hukum di BPUPKI

Dikatakan bahwa adanya konstitusi merupakan konsekuensi dari penerimaan atas konsep negara hukum, maka ketika para pendiri Republik Indonesia ini berembuk untuk menyusun sebuah konstitusi berarti secara sadar mereka telah memilih konsep negara hukum. Mengapa ? sebab, konstitusi itu berfungsi membatasi secara hukum  kekuasaan pemerintah sehingga penggunaanya tidak melanggar HAM dan tidak melampaui batas-batas kewenanagan yang diberikan di dalam konstitusi tersebut. Meskipun begitu, naskah UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI ) tidak memuat pernyataan yang jelas tentang konsep negara hukum yang dianut di Indonesia. Bahkan, istilah tersebut tidak secara eksplisit muncul di dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945.[8]    

Istilah rechtsstaat (yang dilawankan dengan machtsstaat ) memang muncul di dalam  Penjelasan UUD 1945, yakni sebagai kunci pokok pertama dari sistem Pemerintahan Negara yang berbunyi “ Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat )”. Tetapi, berdasarkan dokumen-dokumen sejarah persidangan BPUPKI dan PPKI yang kemudian menetapkan UUD 1945, naskah Penjelasan UUD 1945, tidak pernah dibahas oleh panitia. Naskah tersebut baru muncul menyertai naskah UUD 1945 setelah diumumkan di dalam Berita Negara pada Tahun 1946. Penyebutan itu pun tidak lebih dari dua kalimat sehingga sulit untuk memahami kecenderungan konsepsinya di antara berbagai konsep negara hukum yang ada. Memang istilah “rechtsstaat” itu sendiri dapat memberi kesan bahwa kecenderungan konspsi negara hukum Indonesia adalah tradisi hukum Eropa Kontinental, karena istilah tersebut berasal dari sana. Tetapi, kalau dilihat dari pasal-pasal HAM yang ada di dalam UUD 1945, maka UUD tersebut justru kental dengan muatan ciri-ciri “rule of law”. Sebutlah sebagai contoh, Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara  berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan. Prinsip ini adalah ciri utama the rule of law. Oleh sebab itu, diperlukan studi yang mendalam tentang konsepsi ini dan wacana tentang negara hukum di Indonesia menjadi masalah yang senantiasa aktual.

Upaya melacak dasar konsepsi negara hukum Indonesia dapat dimulai dari perdebatan Soekarno-Soepomo disatu pihak dan Hatta-Yamin pada pihak yang lain yang dalam sidang BPUPKI terlihat dalam perbedaan pendapat tentang pencantuman materi mengenai HAM yang akan dimuat di dalam UUD 1945. Pelacakan konsepsi tersebut dengan mulai dari HAM yang didasarkan pada konsepsi negara hukum itu sendiri yang berintikan pada perlindungan HAM yang harus dikawal oleh adanya lembaga peradilan yang bebas. Artinya, pilihan atas konsepsi negara hukum disebabkan oleh pilihan lebih dulu pada pengakuan dan perlindungan atas HAM. Oleh sebab itu, memahami wacana tentang HAM ketika UUD direncakan dan disususn akan dapat menolong untuk lebih memahami orientasi konsepsi tentang negara hukum yang digagas.
Ketika BPUPKI membahas materi rancangan konstitusi pada  tahun 1945, perdebatan tentang HAM telah muncul. Soekarno dan Soepomo dapat dipandang sebagai penganut HAM yang lebih bertitik berat pada HAM komunal, sehingga keduanya menolak gagasan Hatta dan Yamin untuk memasukkan pasal tentang HAM yang dipandang lebih cenderung ke paham HAM individual. Kata Soekarno :
“... buanglah semua sama sekali paham individualisme itu, janganlah dimasukkan di dalam Undang-Undang Dasar kita yang dinamakan “rights of citizen” sebagai yang dianjurkan republik Prancis itu adanya, kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet menuliskan bahwa manusia bukan saja mempunyai kemerdekaan suara, kemerdekaan hak untuk memberi suara, mengadakan persidangan berapat jika misalnya tidak ada sociale rechtfaardigheit yang demikian itu ? Buat apa kita membikin grondwet...kalau ia tak dapat mengisi perut yang mati kelaparan?...jikalau kita hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong menolong, paham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya” .

Soepomo mengemukakan hal senada ketika mengatakan :
“ ...dalam Undang-Undang Dasar kita tidak bisa memasukkan pasal-pasal yang tidak berdasarkan aliran kekeluargaan, meskipun sebenarnya kita ingin sekali memasukkkan ...jikalau hal itu kita masukkan, sebetulnya pada hakekatnya Undang-Undang Dasar itu berdasar atas sifat perseorangan dengan demikian sistem Undanmg-Undang Dasar bertentangan denga konstursinya.....”

Bahkan, ketika menjawab pertanyaan Maria Ulfah di BPUPKI, Soepomo mengatakan bahwa “kita tidak perlu memasukkan pasal-pasal hak asasi di dalam UUD karena kita telah memilih 
dasar kedaulatan rakyat sehingga rakyat di sini harus dipandang sebagai satu kesatuan, bukan perseorangan.”

Berbeda dengan Soekarno dan Soepomo, maka Hatta dan Yamin justru mengusulkan dimasukkannya HAM di dalam UUD 1945, seperti dikatakan oleh Hatta:
...ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga di sebelah hak yang sudah diberikan kepadanya misalnya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebutkan di sini hakberkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain..., tanggungan ini perlu untuk menjaga, supaya tidak menjadi negara kekuasaan...

Yamin kemudian menimpali bahwa :
Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memuaskannya.
Perdebatan tersebut pada akhirnya mengahsilakan kompromi dengan dimuatnya secara terbatas ketentuan-ketentuan tentang HAM seperti Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31, dengan rumusan yang juga masih memberikan pembatasan, karena untuk sebagian ia di sertai dengan ketentuan bahwa dalam pelaksanaannya akan diatur dengan Undang-Undang yang setelah dibuat.   Ternyata UU tersebut justru membatasi HAM.

Masuknya pasal-pasal tersebut memperlihatkan bahwa konsepsi negara hukum dari tradisi Anglo Saxon yang bernama “the rule of law” itu masuk di dalam UUD 1945, sesuatu yang dapat dilihat minimal dari Pasal 27 yang  menetukan bahwa setiap warga negara berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan. Namun, pada saat yang sama terlihat penggunaan istilah “rechtsstaat” (yang pernah dipakai secara resmi di dalam Penjelasan UUD 1945) dan pelembagaan dunia peradilan yang membuka lingkungan peradilan adminstrasi (tatausaha) negara sebagai cermin dari penganutan atas konsep negara hukum yang bersumber dari tradisi Eropa Kontinental. Bahkan, Daniel S. Lev (1990) mencatat bahwa paham negara hukum di Indonesia dikonotasikan dengan negara hukum dalam konsepsi Eropa daratan (rechtsstaat).

Meskipun ketentuan tentang HAM tersebut memberi kesan bahwa konsepsi negara hukum Indonesia berakar pada individualisme yang lebih mengutamakan hak sipil dan politik seperti yang dikenal dalam konsepsi negara hukum formal yang berakar Legisme, pada saat yang sama pula dapat dilihat bahwa ciri-ciri negara hukum materiil sangat kental mewarnai UUD 1945. Adanya penggarisan tentang tujuan negara dengan tegas mengharuskan pembangunan “ kesejahteraan umum” dan menjadikan “keadilan sosial” sebagai salah satu prinsip kehidupan bernegara tak dapat memberi kesimpulan selain penegasan bahwa hukum ( dalam arti sempit, UU ) bertugas mengakkan keadilan berdasarkan Pancasila. Ketentuan prinsip yang terdapat  di dalam Pembukaan UUD 1945 kemudian dielaborasi di dalam Batang Tubuh yang antara lain terlihat dari ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 34 UUD 1945. Kedua pasal ini mempertegas adanya pengaruh konsep negara hukum materiil yang berintikan pembangunan kesejahteraan umum (social welfare) sebagai tugas pemerintahan suatu negara. Pasal 33 ayat (2) menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, sedangkan Pasal 34 menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Apa yang diuaraikan diatas menunjukkan bahwa konsepsi negara hukum di Indonesia merupakan konsepsi integratif atau penyatuan unsur-unsur yang baik dari beberapa konsep yang berbeda tradisi hukumnya. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa negara hukum formal dan negara hukum materiil dan antara rechtsstaat dan the rule of law itu kemudian diberi nilai keindonesiaan sebagai nilai spesifik sehingga menjadi “ negara hukum Pancasila”.

Konsepsi yang bersifat integratif itu, meskipun lahir dari kebutuhan lingkungan masyarakat Indonesia yang spesifik prismatik, bukan tanpa risiko. Di dalam praktek, seringkali ada orang-orang yang berdebat tentang sesuatu dengan saling mengklaim bahwa pandangannya berdasarkan konsep negara hukum namun dengan acuan pada konsep yang berbeda. Yang satu mengacu pada rechtsstaat sedangkan lainnya mengacu pada the rule of law, atau yang satu mengacu pada negara hukum formal dengan legismenya, sedangkan yang lain mengacu pada negara hukum materiil dengan just law-nya. Bahkan, tidak jarang penafsir atau penegak hukum yang sama bersikap tidak konsisten dengan memilih orientasi yang berbeda-beda untuk kepentingan perkara yang berbeda. Untuk satu kasus, misalnya, dia mengutamakan UU yang resmi berlaku atas nama kepastian hukum, karena denganitulah perkara yang ditanganinya dapat dimenangkan. Tetapi, untuk satu kasus yang lain, atas nama keadilan, yang bersangkutan menolak UU yang masih resmi berlaku, karena ia menilainya tidak sesuai dengan rasa keadilan di dalam masyarakat.

Sebenarnya, sejauh sikap dasar yang bersangkutan konsisten dan murni untuk menegakkan keadilan, maka perubahan-perubahan orientasi seperti itu dapat saja dibenarkan, dalam arti bahwa orang boleh saja mengambil cara campuran dan memanfaatkannya untuk memperjuangkan kedailan. Hukum yang masih formal berlaku ( hukum positif) dapat dipertahankan sejauh mengandung  atau bersesuaian dengan rasa kedailan masyarakat, tapi ia juga dapat dikesampingkan jika memuat hal-hal yang dirasakan tidak adil.  Di sini, prinsip yang diutamakan adalah menegakkan keadilan dan kebenaran dengan dukungan kepastian. Pernyataan seperti ini menjadi penting, karena dalam faktanya kegiatan menegakkan hukum itu tidak dengan sendirinya menegakkan keadilan. Banyak sekali orang menggunakan hukum dengan membangun kebenran formal, tetapi substansinya sangat bertentangan dengan rasa keadilan karena yang dibangun disana adalah “hukum untuk hukum”, bukan hukm untuk keadilan. Dengan kata lain, kegiatan sebagian penegak hukum belakangan ini bukan lagi merupakan kegiatan untuk membangun tegaknya negara hukum dan memfungsikannya untuk membangun keadilan, melainkan bergumul dengan berbagai orientasi pada konsep-konsep yang berbeda untuk memenangkan perkara. Jika yang diutamakan adalah memenangkan perkara sebagai pemaksaan subyektif atau profesionalisme dan bukan menegakkan kebenaran dan keadilan, maka inkonsistensi mereka dalam mengacu berbagai konsep negara hukum menjadi hal biasa, tak menimbulkan rasa bersalah, sehingga tidak menimbulkan beban dalam melaksanakan profesinya.

Pergeseran Konsep Negara Hukum, yakni berubahnya negara hukum menjadi negara undang-undang yang meletakkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah sebagai ukuran kebenaran bukan lagi rasa keadilan dan kepatutan dengan sukma etika yang tinggi, melainkan kalimat undang-undang yang pembuatannya dilakukan melalui rekayasa kepentingan pemerintah . Di dalam negara undang-undang seperti ini, setiap tindakan pemerintah yang tidak adil diberi pembenaran dengan pembuatan undang-undang melalui penggunaan atribusi kewenangan, sehingga hukum ditempatkan sebagai alat justifikasi dengan watak “positivis-instrumentalistik”. Hukum yang berwatak positivis-instrumentalistik adalah hukum yang dijadikan instrumen untuk membenarkan apa yang akan atau telah dilakukan oleh penguasa. Dengan sendirinya legitimasi yang dimilki oleh pemerintah dalam menjalankan kekuasaan juga lebih merupakan legitimasi formal atau meligitimas yang penuh kontradiksi di Indonesia menjadi niscaya, karena di dalam rezim yang legitimasinya  hanya sekedar formalitas memang penuh dengan kontradiksi dan membuka peluang lagi terjadinya berbagai krisis.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 salah satu kesepakatan dasar yang termasuk penting adalah bahwa Penjelasan UUD 1945 ditiadakan. Dan hal-hal yang bersifat normatif masuk pasal-pasal. Adapun dasar-dasar pemikiran perubahan UUD 1945 yang dilakuakn antara tahun 1999 sampai 2002 antara lain meliputi peninjauan dan penataan kembali hal-hal yang terkait dengan permasalahan sebagai berkut:
1.       UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi ditangan MPR, yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatnegaraan. Penguasaan terhadap MPR adalah kata kunci bagi kekuasaan pemerintahan negara yang seakan-akan tanpa ada hubungan lagi dengan rakyat.
2.      UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif ( Presiden ). Sistem yang dianut oleh UUD 1945 executif heavy, yakni kekuasan dominan berada di tangan Presiden. Pada diri Presiden terpusat kekuasaan menjalankan pemerintahan (chief executive ) yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogratif ( antara lain memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi ) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk UU.  Hal ini tercermin jelas dalam Penjelasan UUD 1945 yang berbunyi Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah majlis. Dua cabang kekuasaan negara yang harus dipisahkan dan dijalankan oleh dua lembaga negara yang berbeda tetapi nyatanya berada di satu tangan ( Presiden ) yang menyebabkan tidak bekerjanya prinsip  checks and balances dan berpotensi mendorong lahirnya kekuasaan yang otoriter.
3.      UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlau “ luwes” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multi tafsir)misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum diubah)yang berbunyi Presiden memgang jabtannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Rumusan pasal itu dapat ditafsirkan lebih dari satu yakni tafsir pertama bahwa Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali hanya boleh memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak boleh dipilih kembali. Contoh lain adalah Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi Presiden ialah orang Indonesia asli. Itu, sehingga rumusan ini membuka penafsiran beragam antara lain orang Indonesia asli adalah warga negara Indonesia yang lahir di Indonesia atau warga nwgara Indonesia yang orangtuanya orang Indonesia.
4.      UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang (UU). UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden juga dapat merumuskan hal-hal yang penting sesuai kehendaknya dalam UU. Hal ini menyebabkan pengaturan mengenai MPR, DPR, BKP, MA, DPA dan Pemerintahan Daerah disusun oleh Presiden dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR.
5.      Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak-hak asasi manusia otonomi daerah.    
 
Dengan adanya kesepakatan ini, ketentuan mengenai negara hukum yang sebelumnya diatur dalam Penjelasan UUD 1945 dipindahkan ke dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Perdebatan mengenai konsep negara hukum apa  yang akan diatur dalam Perubahan UUD 1945 termasuk materi perdebatan yang cukup menyita waktu dan tenaga. Pada akhirnya, MPR memilih norma pengaturan sebagaimana yang saat ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.


III. Konsepsi negara hukum Indonesia dan perbandingannya dengan konsep lain.

Pada awalnya konsep negara hukum sangat lekat dengan tradisi politik negara-negara Barat, yaitu freedom under the rule of law. Karena itu menurut Tamanaha liberalisme yang lahir pada akhir abad ke -17 awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep negara hukum dan negara hukum pada masa kini secara keseluruhan dipahami dalam istilah liberalisme. Tamaha menulis “ evry version of liberalism reserv and essential place for the the rule law, and the rule of law today is thoroughly understood in terms of liberalism.” Tetapi diatas segala-galanya dari liberalisme dalam tradisi politik barat adalah kebebasan individu, seperti dalam terminologi klasik yang dikemukakan oleh Stuart Mill”.. The only freedom which divers the name, is that of pursuing our own good in our own way, so long as we do not attempt to deprive others of theirs or impede theri efforts to abtain it.

Dibawah hakekat kebebasan tiap individu adalah merdeka untuk mengejar cita-citanya tentang kebaikan.setiap orang juga mempunyai hak untuk diberi hukuman dan mendapatkan penggantian atas pelanggaran hak-hak dasarnya oleh oang lain. Tetapi kebebasan bukanlah berarti melakukan apasaja yang disukainya, sehingga kemudian setiap orang berada dibawah ancaman yang sama yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu Immanuel Kant berkesimpulan kebebasan adalah hak untuk melakukan apapun sesuai hukum.

Menurut Tamanaha ada empat tema pokok yang menjadi landasan liberalisme Barat yaitu pertama; setiap orang bebas dalam lingkup dimana hukum dibuat secara demokratis, dimana setiap orang adalah pengatur sekaligus yang diatur, tentunya mereka wajib taat hukum, kedua; setiap orang bebas dalam lingkup diamana pejabat peemrintahan diharuskan bertindak sesuai hukum yang berlaku, ketiga; setiap orang bebas sepanjang peemrintahan dibatasi dari pelanggaran atas diganggunya otnomi individu, serta keempat; kebebasan mengalami kemajuan ketika kekuasaan dipisahkan dalam beberapa kompartemen dengan tipe legislatif-eksekutif dan yudikatif. Dari landasan pemikiran itulah yang melahirkan konsep negara hukum Barat seperti yang dikemukakan oleh Julius Stahl  (seperti yang dikutip Jimly Asshiddiqie, 2006:152) yang mengemukakan empat elemen penting negara hukum yang diistilahkannya dengan rechsstaat, yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan pemerintahan negara, pemerintahan dilaksanakan berdasarkan undang-undang serta peradilan tata usaha negara. Kemudian Dicey[9] yang dianggap sebagai teoritisasi pertama yang mengembangkan istilah rule of law dalam tradisi hukum  Anglo-Amerika, rule of law mengandung tiga elemn penting yang secara ringkas dapat dikemukakan, yaitu absolute supremacy of law, equality before the law dan due process of law, dimana ketiga konsep ini sangat terkait dengan kebebasan individu dan hak-hak asasi manusia.

Semua konsep negara hukum Barat tersebut bermuara pada perlindungan atas hak-hak dan kebebasan individu yang dapat diringkas dalam istilah “dignity of man “ dan pembatasan kekuasaan serta tindakan negara untuk untuk menghormati hak-hak individu yang harus diperlakukan sama. Karena itulah harus ada pemisahan kekuasaan negara untuk menghindari absolutisme satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya serta perlunya lembaga peradilan yang independen untuk mengawasi dan jaminan dihormatinya aturan-aturan hukum yang berlaku, yang dalam praktik negara-negara Eropa kontinental memerlukan peradilan administrasi negara untuk mengawasi tindakan peemrintah agar tetap sesuai dan konsisten dnegan ketentuan hukum. Pandangan negara hukum barat diadasari semangat pembatasan kekuasaaan negara terhadap hak-hak individu.

Pada sisi lain, konsep rule of law ditentang oleh para ahli hukum yang yang menganut paham marxis yang memperkenalkan istilah social legality. Jika konsep rule of law ditujukan pada satu titik sentral, yaitu dignity of man sehingga kekuasaan negara harus dibatasi, maka dalam konsep sosialist legality, hukum sebagai guilding principless yang meliputi segala aktifitas dari organ-organ negara, pemerintahannya, pejabat-pejabatnya serta warganya. Dalam kaitan ini Oemar Seno Adji berkesimpulan socialist legality lebih memberi kemungkinan bagi uniformalitas dan similiaritas dalam asasnya daripada variatas yang bermacam-mcam. Ia dapat dikembalikan kepada putusan lenin mengenai “on the pricese observance of laws’. Yang menghendaki agar supaya semua warga negara, organ-organ negara dan pejabat mematuhi hukum dan dektrit-dektrit dari penguasa Uni sovyet[10]. Hak-hak individu dalam konsep socialist legality tetap dihormati, akan tetapi harus dikaitkan dengan dan tunduk pada cita-cita masyarakat sosialis. Karena itu pembaasan tidak saja difokuskan pada kekuasaan negara terhadap ndividu tetapi juga pada kebebasan individu terhadap negara dan cita masyarakat sosialis. Demikian juga pengadilan yang independen diakui, tetapi memebrikan hak kepada pemerintah untuk memberkan rekomendasi, usul dan saran. Walaupun Uni Soviet sudah runtuh sebagai sebuah negara namun konsep socialist legality tetap memiliki pengaruh dan menjadi kajian yang menarik sebagai sumber pengembangan konsep negara hukum pada masa kini dan ke depan.

Setelah mengkaji perkembangan praktik negara-negara hukum modern Jimly As-Shiddiqie[11], sampai pada kesimpulan ada 12 prinsip pokok negara hukum (rechstaat) yang berlaku dizaman sekarang, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process law), pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara serta transparansi dan konrol sosial. Dua belas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara hukum modern dalam arti sebenarnya.

Negara hukum Indonesia dapat juga diistilahkan sebagai negara Hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai genus begrip yang tertuang dalam penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep negara hukum di Barat. Jika membaca dan memahami apa yang dibayangkan oeh Soepomo ketika menulis penjelasan UUD 1945 jelas merujuk pada konsep rechsstaat. Karena negara hukum dipahami sebagai konsep barat, Satjipto Rahardjo[12] sampai pada kesimpulan bahwa negara hukum adalah konsep modern yang tidak tumbuh dari masyarakat Indonesia sendiri, tetapi ”barang impor”. Negara hukum adalah bangunan yang dipaksakan dari luar. Lebih lanjut menurut Satjipto Rahardjo, proses menjadi negara hukum bukan menjadi bagian dari sejarah sosial politik bangsa kita dimasa lalu seperti terjadi di Eropa.

Tetapi apa yang dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang tertuang dalam pembukaan pasal UUD 1945 setelah perubahan adalah suatu yang berbeda dengan konsep negara hukum Barat dalam arti rechsstaat maupun rule of law. Dalam banyak hal konsep negara hukum Indonesia lebih mendekati konsep socialist legality, sehingga ketika Indonesia lebih mendekati kepada sosialisme, Wirjono Prodjodikoro berkesimpulan bahwa Indonesia menganut “Indonesia Socialist  Legality’. Tetapi istilah tersebut ditentang oleh Oemar Seno Adji yang bepandangan bahwa negara hukum Indonesia bersifat spesifik dan banyak berbeda dengan socialst legality. Karena terinspirasi negara hukum barat dalam hal ini rechstaat maka UUD 1945 mengehendaki elemen-elemen rechsstaat maupun rule of law menjadi bagian dari prinsip-prinsip negara indonesia. Bahkan secara tegas rumusan penjelasan UUD 1945menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas aturan hukum (rechsstaat) bukan negara yang berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat), rumusan Penjelasan UUD 1945 menghendaki pembatasan kekuasaan negara oleh hukum.

Untuk mendapatkan pemahaman utuh terhadap negara hukum pancasila harus dilihat dan diselami kedalam proses dan latar belakang lahirnya rumusan Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kehendak lahirnya negara Indonesia serta sebagai dasar filosofis dan tujuan negara. Dari kajian dan pemahaman itu, kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa konsep negara hukum  Pancasila disamping memiliki kesamaan tetapi juga memiliki perbedaan dengan konsep negara hukum barat baik rechsstaat, rule of law maupun socialist legality. Seperti disimpulkan oleh Oemar Seno Adji, antara konsep negara hukum barat dengan negara hukum Pancasila memiliki “similiarity’ dan “Divergency’.

Jika konsep pada negara hukum dalam pengertian rechsstaat dan rule of law berpangkal pada“dignity of man” yaitu liberalisme, kebebasan, dan hak-hak individu (individualisme) serta prinsip pemisahan agama dan negara (sekularisme), maka latar belakang lahirnya negara hukum Pancasila didasari oleh semangat kebersamaan untuk bebas dari penjajahan dengan cita-cita terbentuknya  Indonesia merdeka yang bersatu berdaulat adil dan makmur dengan pengakuan tegas adanya kekuasaan Tuhan. Karena itu prinsip  ketuhanan adalah elemen paling utama dari elemen negara hukum Indonesia.

Lahirnya negara hukum Pancasila menurut Padmo Wahyuno[13] berbeda dengan cara pandang liberal yang melihat negara sebagai suatu status tertentu yang dihasilkan oleh suatu perjanjian bermasyarakat dari individu-individu yang bebas atau dari status ‘naturalis” ke status “Civics’ dengan perlindungan terhadap civil rights. Tetapi dalam negara hukum Pancasila terdapat anggapan bahwa manusia dilahirkan dalam hubungannya atau keberadaannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu negara tidak terbentuk karena perjanjian atau “vetrag yang dualistis” melainkan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas...”. jadi posisi Tuhan dalam negara hukum Pancasila menjadi satu elemen utama bahkan menurut Oemar Seno Adji, merupakan “causa prima”. Dengan demikian posisi agama dalam negara hukum Pancasila tidak bisa dipisahkan dengan negara dan pemerintahan. Agama menjadi satu elemen yang sangat penting dalam negara hukum Pancasila. Negara hukum Indonesia tidak mengandung doktrin “separation of state and Curch”. Bahkan dalam UUD 1945 setelah amandemen, nilai-niali agama menjadi ukuran untuk dapat membatasi  hak-hak asai manusia ( lihat Pasal 28 J UUD 1945 ).

IV. Konsep Prismatik Negara Hukum Pancasila.

Pancasila merupakan konsep prismatik ( meminjam istilah Fred W. Riggs ) yakni konsep yang mengambil segi-segi baik dari dua konsep yang bertentangan yang kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga dapat selalu diaktualkan dengan kenyataan masyarakat Indonesia dan setipa perkembangannya. Negara Pancasila bukan negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama tertentu, tetapi negara Pancasila juga bukan negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama. Negara Pancasila adalah sebuah religius nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besar jumlah pemeluk masing-masing. 

Negara Pancasila mengakui manusia sebagai individu yang mempunyai hak dan kebebasan, tetapi sekaligus mengakui bahwa secara fitrah manusia itu juga adalah makhluk sosial yang tak bisa menjadi manusiawi kalau tidak hidup bersama-sama manuisia lain. Dalam konsep keseimbangan yang seperti ini maka Pancasila bukanlah penganut konsep individualisme yang memutlakkkan hak dan kebebasan individu, tetapi juga bukan penganut konsep kolektivisme yang mau menyamakan semua manusia begitu saja tanpa menghargai hak dan kebebasan individu. Pengelolaan nilai kepentingan dan nilai sosial dari konsepsi yang seperti ini harus mengarah pada keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan bersama serta antara nilai sosial peguyuban dan nilai sosial petembayan.[14]  Itulah konsep Pancasila sebagai konsep prismatik yang mempertemukan secara integratif segi-segi baik dari berbagai konsep yang dipandang saling bertentangan.

Untuk menemukan acuan yang mungkin cocok dalam upaya menegakkan negara hukum Indonesia, pandangan para pakar tentang spesifikasi konsepsi negara hukum Pancasila dapat dijadikan alternatif. Meski ada yang bergurau dengan menyebut bahwa Negara Pancasila atau Negara Hukum Pancasila adalah ‘ negara yang bukan-bukan’ (misalnya bukan liberal dan bukan komunal),[15] tetapi penggunaan istilah tersebut sebenarnya merupakan abstraksi tepat atas hasil perenungan mendalam yang dilakukan oleh para filosof atau pemikir-pemikir negeri ini dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan sebagainya.

Gurauan atau plesetan tentang “negara yang bukan-bukan” ini, di zaman Orde Baru cukup populer di kalangan akademisi atau di forum-forum seminar, karena yang terjadi kemudian adalah munculnya penafsiran tunggal atau hegemoni penafsiran yang dilakukan oleh pemerintah sehingga implementasinya menjadi sangat jelek dan menindas.[16] Padahal, secara substantif konseptual istilah Negara pancasila atau Negara Hukum Pancasila memang bisa mewakili semangat demokrasi dan hukum yang berakar dari budaya bangsa Indonesia.

Satjipto Rahardjo, salah seorang begawan hukum yang pemikirannya sangat maju, pun dengan yakin masih menggunakan istilah ‘hukum Pancasila’ sebagai hal yang tepat dan mewakili kebutuhan substantif dan konseptual dalam pembangunan hukum kita. Sosiologi hukum ini mengatakan bahwa pemakaian pengertian sistem ‘hukum Pancasila’adalah untuk mewadahi berbagai karakter nilai yang tumbuh dan ada di Indonesia yang nilai-nilainya sangat khas, seperti kekeluargaan, kebapakan, keserasian, keseimbangan, dan musyawarah yang semuanya merupakan akar-akar dari budaya hukum negeri ini.[17]  Karena hukum merupakan pelayan masyarakatnya, maka pembangunan hukum di sini harus sesuai dengan apa yang menjadi aakar dan tumbuh di dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, sudah barang tentu bahwa sistem formal yang didominasi oleh legisme liberal akan menimbulkan persoalan khas apabila dilaksanakan dalam masyarakar Indonesia.[18]

Inti dari negara hukum Pancasila adalah penegakan keadilan dan kebenaran, bukan semata-mata penegakan hukum dalam arti formal, dan karenanya hukum dan rasa keadilan masyarakat ( living law ) di beri tempat yang wajar untuk diberlakukan. Di dalam konsep ini, kepastian hukum harus dijamin untuk memastikan tegaknya keadilan, bukan hanya tegaknya hukum-hukum tertulis yang adakalanya tidak adil. Di Korea konsep the rule of law diadaptasikan ke dalam konsepsi the rule of just law.[19]

Dalam kaitan dengan negara hukum ini, Padmo Wahjono[20] menyatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia yang menyebut rechtsstaat di antara kurung memberi arti bahwa negara hukum Indonesia mengambil pola secara tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya (genusbegrip) yang kemudian disesuaikan dengan keadaan spesifik Indonesia. Jauh sebelum itu, Muhammad Yamin (1954) membuat penjelasan tentang konsep negara hukum Indonesia bahwa kekuasaan yang dilakukan pemerintah harus berdasarkan dan berasal dari ketentuan undang-undang dan karenanya harus jauh dari kesewenang-wenangan; atau kepercayaan bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan berbagai pertikaian. Negara Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara polisi atau negara militer tempat polisi dan tentara memegang kekuasaan dan keadilan; b  ukan negara machtsstaat tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan tindakan sewenag-wenang. Tampaknya, Yamin cenderung menganut paham legisme tentang ini ketika mengatakan bahwa negara Indonesia adalah negara yang melaksanakan keadilan yang dituliskan di dalam undang-undang dan dibuat oleh badan-badan negara yang sah.

Sementara itu, Syahran Basah[21] mengidentifikasi negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan mengajukan pendapat bahwa mengingat Pancasila dijabarkan di dalam beberapa pasal Batang Tubuh UUD 1945, seperti Pasal 27, 28, 29, 30, dan 34, maka di negara hukum Indonesia terdapat hak dan kewajiban asasi manusia, hak perorangan yang bukan hanya harus diperhatikan, tapi juga harus ditegakkan dengan mengingat kepentingan umum, menghormati hak orang lain, mengindahkan perlindungan/kepentingan keselamatan bangsa serta moral umum dan ketahanan nasional berdasarkan undang-undang. Di dalam konsepsi yang demikian, hak perorangan diakui, dijamin dan dilindungi, namun hal itu dibatasi oleh: pertama, sosial yang dianggap melekat pada hak milik; dan kedua, corak masyarakat Indonesia yang membebankan manusia perorangan Indonesia dengan berbagai kewajiban terhadap keluarga, masyarakat, dan sesamanya. Di dalam konsepsi yang demikian, seperti dikatakan oleh Paulus Effendi Lotulung[22], terdapat asas keserasian dan keseimbangan antara kepentingan individual dan kepentingan umum.    

[1]MAKNA DAN PERANAN FREIES ERMESSEN SEBAGAI
PERATURAN KEBIJAKSANAAN DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Artikel
Oleh :
Zuhraini

Korespondensit : Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Jln. Letkol H. Endro Suratmin Sukarame 1 Bandar LAmpung 35131, Telp/Fax.0721-703289
E-mail: putihdoh_65@yahoo.co.id

Abstrak : Penyelenggaraan urusan pemerintah dalam suatu negara hukum  bersendikan pada asas legalitas. Akan tetapi dalam kenyataan yang terjadi  peraturan  perundang-undangan sebagai hukum tertulis itu memiliki kekurangan dan kelemahan. Untuk mengisi kelemahan dari asas legalitas itu, Pemerintah diberikan keleluasaan untuk mengambil kebijaksanaan dalam rangka memperlancar administrasi negara atau dikenal dengan istilah Freies Ermessen. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis peranan Freies Ermessen sebagai peraturan kebijaksanaan dalam HAN. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan analisis yuridis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara dapat dimanfaatkan untuk mengisi celah atau kekosongan hukum (rechtvacuum), sehingga memperlancar gerak administrasi negara. Dengan demikian Freies Ermessen berperan dalam mengisi, melengkapi dan mengembangkan Hukum Administrasi Negara.

            Key words: Freies Ermessen, Asas Legalitas, Kebijaksanaan dalam HAN.

I. Pendahuluan

          Perkembangan konsep “Negara hukum”[2] sekarang ini telah menghasilkan suatu konsep Negara  hukum kesejahteraan (social service state; welvaarstaat). Dalam suatu Negara hukum yang demikian ini, tugas negara sebagai servis publik adalah menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial (yang oleh Lemaire disebutnya dengan : bestuurszorg) bagi masyarakatnya. Jadi, tugas negara bukan hanya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban saja. Oleh karena itulah maka negara melakukan campur tangan hampir disetiap sektor kehidupan masyarakat, yang menyebabkan semakin besarnya keterlibatan administrasi negara di dalamya.

          Salah satu alasan nyata bagi pertumbuhan kekuasaan ketertlibatan administrasi negara di dalamnya. Administrasi negara di                negara-negara demokrasi modern adalah dengan pudarnya falsafah laissez faire dan meningkatnya peranan negara dalam bidang sosial-ekonomi. Seperti diketahui,  laissez faire menginginkan sedikitnya peranan negara dalam mengontrol usaha-usaha pribadi dalam masyarakat dan besarnya peranan individu dalam melakukan kebebasan berkontrak. Falsafah ini ternyata justru menimbulkan penderitaan bagi manusia, karena ia mengakibatkan terjadinya eksploitasi oleh orang yang kuat terhadap kelompok orang-orang yang lemah. Berdasarkan hal tersebut maka timbul pemikiran-pemikiran mengenai konsep negara kesejahteraan.

          Freidmann[3] dalam bukunya The Rule Of Law and The Welfare State menyebutkan adanya lima fungsi dari negara kesejahteraan, yaitu sebagai protector, provider, regulator, enterprenour dan sebagai arbitrator. Dalam rangka menjalankan fungsi ini, negara-negara harus memiliki lembaga-lembaga dan standar perlakukan yang menjalankan terselenggaranya kesejahteraan sosial. Sebagai wakil rakyat secara keseluruhan, negara harus mengatur dan menjalankan keadilan diantara sektor-sektor masyarakat yang berbeda. Lembaga dan standar perlakuan tadi dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya keadilan dan kesejahteraan masyarakat, dan hal tersebut diatur melalui hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara.  

            Perkembangan konsep negara hukum seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, erat kaitannya dengan peranan hukum administrasi didalamnya. Pada konsep Polizeistaat boleh dikatakan belum berkembang Hukum Administrasi Negara, barulah ada nachtwakerstaat Hukum administrasi Negara mulai muncul, meskipun sangat terbatas. Pada Welvarestaat peranan Hukum administrasi Negara semakin luas dan dominan. Hal ini menunjukkan semakin aktifnya negara terlibat dan melakukan campur tangan pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Adalah sukar membayangkan suatu negara modern saat ini tanpa adanya Hukum Administrasi Negara di dalamnya.

            Selain itu, secara historis asas  pemerintahan berdasarkan undang-undang berasal dari pemikiran hukum abad ke-19 berjalan seiring dengan keberadaan negara hukum klasik atau negara hukum liberal (de liberale rechtsstaatidee) dan dikuasai oleh pemikiran hukum legalistik-positivistik, terutama pengaruh aliran hukum legisme, yang menganggap hukum hanya apa yang tertulis dalam undang-undang.[4] Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Dengan kata lain, asas legalitas dalam gagasan negara hukum liberal memiliki kedudukan sentral atau sebagai suatu fundamen dari negara hukum (als een fundamenten van de rechtsstaat).[5]

Akan tetapi mengingat sedemikian luasnya aspek kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan itu, maka sudah barang tentu tidak setiap permasalahan yang dihadapai dan tindakan yang akan diambil oleh administrasi negara telah tersedia aturannya. Dalam keadaan seperti ini membawa administrasi negara kepada suatu konsekuensi khusus, yaitu memerlukan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting yang timbul dimana peraturan penyelesaiannya belum ada. Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksaaan sendiri ini, dalam hukum Administrasi Negara disebut dengan pauvoir discretionnaire atau Freies Ermessen.[6]

Adanya  Freies Ermessen ini bukannya tidak menimbulkan masalah akan kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak warga negara semakin besar, karena seperti yang telah disebutkan  sebelumnya, bahwa penyelenggaraan urusan pemerintah dalam suatu negara hukum itu bersendikan pada peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip yang dianut dalam suatu negara hukum yaitu asas legalitas. Tetapi karena peraturan  perundang-undangan sebagai hukum tertulis itu mengandung kekurangan dan kelemahan, maka keberadaan peraturan kebijaksanaan menempati posisi penting terutama dalam negara hukum modern.[7] Oleh karena itu bagaimana mengontrol kekuasaan administrasi negara agar tidak disalahgunakan (yang tercermin melalui onrechtmatigegoverheidsdaad, deutournement de pouvoir atau ultra vires ataupun abus de droit), merupakan permasalahan yang relevan untuk dikaji.

Disini arti pentingnya peranan Hukum Administrasi Negara, sebab disuatu pihak ia dipergunakan untuk memungkinkan agar administrasi negara dapat menjalankan fungsinya (sebagai landasan kerja), tetapi di lain pihak Hukum Administrasi Negara diperlukan untuk melindungi warga masyarakat terhadap sikap tindak administrasi negara dan untuk melindungi administrasi negara itu sendiri.[8]

Agar Freies Ermessen yang ada pada administrasi Negara tersebut tidak disalahgunakan, maka diperlukan adanya tolak ukur pembatasan terhadap penggunaannya. Dengan perkata lain ada batas toleransi yang mesti dipenuhi oleh administrasi negara dalam menggunakan Freies Ermessen ini.

Berdasarkan uraian diatas nyatalah bahwa Freies Ermessen mempunyai kedudukan yang cukup penting dalam Hukum Administrasi Negara, sehingga adanya kajian mengenai makna dan peranan Freies Ermessen Sebagai Peraturan Kebijaksanaan dalam Hukum Administrasi Negara akan menjadi penting untuk diteliti.

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN
           
Materi yang dibahas dalam penelitian ini berkaitan dengan Freies Ermessen dan Kebijaksanaan Pemerintah dalam Hukum Administrasi Negara. Berdasarkan materi tersebut disusun permasalahan mengenai aspek hukum peranan Freies Ermessen sebagai peraturan kebijaksanaan dalam HAN. Sedangkan  metode penelitian yang dipergunakan adalah metode normatif, dengan studi pustaka. Data-data tersebut berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, kemudian dianalisis melalui yuridis kualitatif.

III. Pembahasan
A.    Pengertian Peraturan Kebijaksanaan

Di dalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi negara, pemerintah banyak mengeluarkan kebijaksanaan yang dituangkan dalam berbagai bentuk seperti beleidslijnen (garis-garis kebujaksanaan), het beleid (kebijaksanaan), voorschriften (peraturan-peraturan) , richtlijnen (pedoman-pedoman), regelingen (petunjuk-petunjuk), circulaires (surat edaran), resoluties (resolusi-resolusi), aanschrijvingen (instruksi-instruksi), beleidsnota’s (nota kebijasanaan), reglemen (ministriele) (peraturan-peraturan menteri), beschikkingen (keputusan-keputusan),  en bekenmakingen (pengumuman-pengumuman).[9] Menurut Philipus M. Hadjon, peraturan kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebrancht schricftelijk beleid”, yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis.[10] Peraturan kebijaksanaan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan  sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. Peraturan ini semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum. Oleh karena itu, peraturan ini  disebut pula dengan istilah psudo-wetgeving (perundang-undangan semu) atau spigelsrecht  (hukum bayangan/cermin).

Secara praktis kewenangan diskresioner administrasi negara yang kemudian melahirkan peraturan kebijaksanaan mengandung dua aspek pokok. Pertama, kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya. Aspek pertama ini lazim dikenal dengan  kebebasan menilai secara objektif. Kedua, kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki administrasi negara itu dilaksanakan. Aspek kedua ini dikenal dengan kebebasan menilai yang bersifat subjektif.[11] Kewenangan bebas untuk menafsirkan secara mandiri dari pemerintah inilah yang melahirkan peraturan kebijaksanaan. P.J.P. Tak[12] menjelaskan peraturan kebijaksanaan sebagai berikut :
 Beleidsregels zijn algemene regels die een bestuursinstantie stelt omtrent de uitoefening van een bestuursbevoegdheid jegens de burgers of een andere bestuursinstantie en voor welke regelstelling de grondwet noch de formele wet direct of indirect een uitdrukkelijke gronslag biedien. Beleidsregels berusten dus niet op een bevoegdheid tot wetgeving-en kunnen daarom ook geen algemeen verbindende voorschriften zijn-maar op een bestuursbevoedgheid van een bestuursorgaan en betreffen de uitoefening van die bivoegdheden.”
(Peraturan kebijaksanaan adalah peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintahan berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung maupun tidak langsung. Artinya peraturan kebijaksanaan tidak didasarkan pada kewenangan pembuatan undang-undang dan oleh karena itu tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum- tetapi dilekatkan pada wewenang pemerintahan suatu organ admnistrasi negara dan terkait dengan pelaksanaan kewenangannya).

Commissie Wetgevingsvraagstukken merumuskan peraturan kebijaksanaan sebagai, “Een algemene regel omtrent de uitoefening van een bestuursbevoegdheid jegens de bestuurden (bugers, maar ook andere bestuursorganen), op eigen gezag vastgesteld door de bevoegde bestuursinstantie zelf of door een hierarchisch hogere bestuursinstantie”[13] (suatu peraturan umum tentang pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara {warga negara, juga organ pemerintah lainnya} ditetapkan berdaskan kekuasaan sendiri oleh instansi pemerintahan yang berwenang atau instansi pemerintahan  yang secara hirarki lebih tinggi). Peraturan kebijaksanaan secara esensial berkenaan dengan: (1) een bestuursorgaan met in casu uitsluitend de bevoegdheid tot het verrichten van bestuurshandelingen (organ pemerintahan dalam hal ini semata-mata menggunakan kewenangan untuk menjalankan tindakan-tindakan pemerintahan); (2) een bestuursbevoegdheid die niet volstrekt gebonden is (kewenangan pemerintahan itu tidak terikat secara tegas); (3) algemene regels, te hanteren bij de uitoefening van de bevoegdheid (ketentuan umum, digunakan pada pelaksanaan kewenangan).

B.     Ciri-ciri Peraturan Kebijaksanaan

Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan peraturan perundang-undangan. Berikut ini disajikan mengenai ciri-ciri peraturan kebijaksanaan untuk kemudian diperbandingkan dengan peraturan perundang-undangan guna mengetahui kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaannya. J.H. Van Kreveld menyebutkan cirri-ciri peraturan kebijaksanaan adalah sebagai berikut :[14]
a.       De regel is direct noch indirect, gebasserd op geen bepaling in de formele wet of grondwet die uitdrukkelijk een bevoegdheid tot regeling geeft, met andere woorden, de regel heft geen uitdrukkelijke grondslag in de wet.
( Peraturan itu langsung ataupun tidak langsung, tidak didasarkan pada ketentuan undang-undang formal atau UUD yang memberikan kewenangan mengatur, dengan kata lain, peraturan itu tidak ditemukan  dasarnya dalam undang-undang).
b.      De regel is, hetzij ongeschreven en dan ontstaan door een reeks van individuele beslissingen degen door de bestuursinstantie in de uitoefening van the vrije bestuurs bevoegdheid jegens individuele burgers genomen; hetzij uitdrukkelijk vasgesteld door deze bestuursinstantie.
(Peraturan itu, tidak tertulis dan muncul melalui serangkaian keputusan-keputusan instansi pemerintahan dalam melaksanakan kewenangan pemerintahan yang bebas terhadap warga negara, atau ditetapkan secara tertulis oleh instansi pemerintahan tersebut).
c.       De regel geeft in algemene zin, dat wil zeggen zonder aanduiding van individuele burgers, aan hoe de bestuursinstantie bij de uitoefening van de vrije bestuursbevoegdheid zal handelen jegens iedere individuele burger die zich bevint de situatiedie in de regel in omshreven.
(Peraturan itu memberikan petunjuk secara umum, dengan kata lain tanpa pernyataan dari individu warga negara mengenai bagaiamana instansi pemerintahan melaksanakan kewenangan pemerintahannya yang bebas terhadap setiap individu warga negara yang berada dalam situasi yang dirumuskan dalam peraturan itu).

            Bagir Manan menyebutkan ciri-ciri peraturan kebijaksanaan sebagai berikut:
a.       Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
b.      Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perudang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan.
c.       Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut.
d.      Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan freies Ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat pertauran perundang-undangan.
e.       Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan kepada doelmatigheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak.
f.       Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman, dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.[15]

Berdasarkan ciri-ciri tersebut, tampak ada beberapa persamaan antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan kebijaksanaan. A. Hamid Attamimi menyebutkan unsur-unsur persamaannya adalah sebagai berikut:
a.       Aturan yang berlaku umum
Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijaksanaan mempunyai adresat atau subjek norma dan pengaturan prilaku atau objek norma yang sama, yaitu bersifat umum dan abstrak (algemene regeling atau algemene regel).
b.      Peraturan yang berlaku ‘ke luar’
Peraturan perundang-undangan berlaku ‘ke luar’ dan ditunjukan kepada masyarakat umum (naar buiten werkend, tot een ieder gericht), demikian juga peraturan kebijaksanaan berlaku ‘ke luar’ dan ditujukan kepada masyarakat umum yang bersangkutan.
c.       Kewenangan pengaturan yang bersifat umum/publik
Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijaksanaan ditetapkan oleh lembaga/pejabat yang mempuyai kewenangan umum/publik itu.[16]

            Disamping terdapat kesamaan, adapula beberapa perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan kebijaksanaan. A. Hamid Attamimi menyebutkan perbedaaan-perbedaannya adalah sebagai berikut :
a.       Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi negara
Pembentukan hukum melalui perundang-undangan dilakukan oleh rakyat sendiri, oleh wakil-wakil rakyat atau sekurang-kurangnya dengan persetujuan wakil-wakil rakyat. Kekuasaan dibidang perundang-undangan atau kekuasaan legislatif hanya diberikan kepada lembaga yang khusus untuk itu, yaitu lembaga legislative (sebagai organ kenegaraan, yang ertindak untuk dan atas nama Negara,pen).
b.      Fungsi pembentukan peraturan kebijaksanaan ada pada pemerintah dalam arti sempit (eksekutif).
Kewenangan pemerintah dalam arti sempit atau ketataprajaan (kewenangan eksekutif) mengandung juga kewenangan pembentukan peraturan-peraturan dalam rangka penyelenggaraan fungsinya. Oleh karena itu, kewenangan pembentukan peraturan kebijaksanaan yang bertujuan mengatur lebih lanjut penyelenggaraan pemerintahan senantiasa dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan penyelenggaraan pemerintah.
c.       Materi muatan peraturan perundang-undangan berbeda dengan materi muatan peraturan kebijaksanaan.
Peraturan kebijaksanaan mengandung materi muatan yang  berhubungan dengan kewenangan membentuk keputusan-keputusan dalam arti beschikkingen, kewenangan bertindak dalam bidang hukum privat, dan kewenangan membuat rencana-rencana (planen) yang memang ada pada lembaga pemerintahan. Sementara itu, materi muatan peraturan perundang-undangan mengatur tata kehidupan masyarakat yang jauh lebih mendasar, seperti mengadakan suruhan dan larangan untuk berbuat atau tidak berbuat, yang apabila perlu disertai dengan sanksi pidana dan sanksi pemaksa.
d.      Sanksi dalam peraturan perundang-undangan dan pada peraturan kebijaksanaan
Sanksi pidana dan sanksi pemaksa yang jelasa mengurangi dan membatasi hak-hak asasi warga negara dan penduduk hanya dapat dituangkan dalam undang-undang yang pembentukannya harus dilakukan dengan persetujuan rakyat atau dengan persetujuan wakil-wakilnya. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah lainya hanya dapat mencantumkan sanksi pidana bagi pelanggaran ketentuannya apabila hal itu secara tegas diatribusikan oleh undang-undang. Peraturan kebijaksanaan hanya dapat mencantumkan sanksi administratif  bagi pelanggaran ketentuan-ketentuannya.[17]

            Mengenai kekuatan mengikat dari peraturan kebijaksanaan ini, diantara para pakar hukum tiadk terdapat kesamaan pendapat. Menurut Bagir Manan, peraturan kebijaksanaan sebagai “peraturan” yang bukan peraturan perundang-undangan tidak langsung mengikat secara hukum tetapi mengandung relevansi hukum. Peraturan kebijaksanaan pada dasarnya ditujukan pada administrasi Negara sendiri. Jadi yang pertama-tama melaksanakan ketentuan yang termuat dalam peraturan kebijaksanaan adalah badan atau pejabat administrasi Negara. Meskipun demikian, ketentuan tersebut secara tidak langsung, akan dapat mengenai masyarakat umum.[18] Indroharto berpendapat bahwa peraturan kebijaksanaan itu bagi masyarakat menimbulkan keterikatan secara tidak langsung. Menurut Hamid Attamimi,[19] peraturan kebijaksanaan mengikat secara umum, karenan masyarakat yang terkena peraturan itu tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikutinya. Menurut Marcus Lukman, kekuatan mengikat pertauran kebijaksanaan ini tergantung jenisnya. Peraturan kebijaksanaan intra-legal dan kontra-legal yang pembentukannya berdasarkan kebebasan mempertimbangkan intra-legal menjadibagian integral dari tata hierarki peraturan perundang-undangan. Kekuatan mengikatnya juga berderajat peraturan perundang-undangan. Adapun peraturan kebijaksanaan ekstra-legal dan kontra-legal yang pembentukannya berdasarkan kebebasan mempertimbangkan ekstra-legal tidak memiliki kekuatan mengikat berderajat peraturan perundang-undangan.

            Sebenanya penyelengaraan urusan pemerintahan dalam suatu negara hukum itu bersendikan pada suatu peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip yang dianut Negara hukum yaitu asas legalitas, tetapi karena peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis mengandung kekurangan dan kelemahan, sebagaimana telah disebutkan diatas, keberadaan peraturan kebijaksanaan menempati posisi terpenting terutama dalam negara hukum modern. Menurut Marcus Lukman, peraturan kebijaksanaan dapat difungsikan secara tepat guna dan berdaya guna, yang berarti :
1)      Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan.
2)      Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan.
3)      Tepat guna dan berdaya guna sebagai sara pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar dan adil dalam peraturan perundang-undangan.
4)      Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan untuk mengatasai kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman.
5)      Tepat guna dan berdaya guna bagi kelancara pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi di bidang pemerintahan dan pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaruan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.[20]

Sebagaimana pembuatan dan penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu haus memerhatikan beberapa persyaratan, pembuatan dan penerapan peraturan kebijaksanaan juga harus memeperhatikan beberapa persyaratan. Menurut Indroharto, pembuatan peraturan kebijaksanaan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :[21]
a.       Ia tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan itu.
b.      Ia tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
c.       Ia harus dipersiapkan dengan cermat; semua kepentingan, keadaan-keadaaan serta alternatif-alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.
d.      Isi dari kebijaksanaan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan tersebut.
e.       Tujuan-tujuan dan dasar pertimbangan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas.
f.       Ia harus memenuhi syarat kepastian hukum material, artinya hak-hak yang telah diperoleh dari warga masyarakat yang terkena harus dihormati, kemudian juga harapan-harapan warga yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.

Sementara itu, dalam penerapan  atau penggunaan peraturan kebijaksanaan harus memerhatikan hal-hal diantaranya:
a.       Harus sesuai dan serasi dengan tujuan undang-undang yang memberikan beoordelingsvrijheid (ruang kebebasan bertindak);
b.      Serasi dengan asas-asas hukum umum yang berlaku, seperti:
1)      Asas perlakuan yang sama menurut hukum;
2)      Asas kepatutan dan kewajaran;
3)      Asas keseimbangan;
4)      Asas pemenuhan kebutuhan dan harapan; dan
5)      Asas kelayakan mempertimbangkan segala sesuatu yang relevan dengan kepentingan publik dan warga masyarakat;
c.       Serasi dan tepat guna dengan tujuan yang hendak dicapai.[22]

C.    Pengertian Freies Ermessen

Istilah Freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata  frei dan freie yang artinya: bebas, merdeka, tidak terikat, lepasa dan orang bebas. Sedangkan kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan, dan keputusan.[23] Jadi secara  etimologis Freies Ermessen dapat diartikan sebagai “ orang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan”. Selain itu, istilah Freies Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti: menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak seluruhnya terikat pada undang-undang.[24]

Dalam kepustakaan Ilmu Hukum Administrasi Negara telah banyak pakar yang memberikan batasan mengenai istilah ini. Prajudi Atmosudirdjo[25] mengatakan :
“ ….. asas diskresi (discretie freies ermessen) artinya, pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan ‘tidak ada peraturannya’, dan oleh karena itu diberi kekuasaan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar syarat yuridiktas dan asas legalitas ….”

Senada dengan pendapat tersebut, Sjahran Basah[26] mengatakan bahwa diperlukannya Freies Ermessen oleh administrasi negara itu : “ ….. dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atau inisiatif sendiri …. Terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang penting yang timbul secara tiba-tiba. Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak cepat, membuat penyelesaian. Namun keputusan-keputusan yang diambil untuk menyelesaikan masalah-masalah itu, harus dipertanggungjawabkan.” Pada bagian lain dari buku tersebut Freies Ermessen itu diartikan sebagai “kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu”[27] atau “keleluasan dalam menentukan kebijakan-kebijakan melalui sikap tindak administrasi Negara yang harus dapat dipertanggungjawabkan”.[28]

Amrah Muslimin[29] mengartikan Freies Ermessen sebagai “lapangan bergerak selaku kebijaksanaannya” atau “kebebasan kebijaksanaan”.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikutip sebelumnya, pada hakikatnya tidak terdapat perbedaan yang prinsip, sebab inti hakikat yang terkandung adalah sama, yaitu adanya kebebasan bertindak bagi administrasi negara untuk menjalankan fungsinya secara dinamis guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak, sedangkan aturan itu belum ada. Namun, harus diingat bahwa kebebasan bertindak administrasi tersebut bukan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya dan tanpa batas, melainkan tetap terikat kepada batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh Hukum Administrasi Negara.

Sehubungan dengan hal ini, Hans J. Wolf[30] dalam bukunya Velwartungsrecht jilid I, mengatakan bahwa Freies Ermessen tidak boleh diartikan secara berlebihan seakan-akan badan atau pejabat administrasi negara boleh bertindak sewenang-wenang atau tanpa dasar dan dengan dasar-dasar yang tidak jelas ataupun dengan pertimbangan subjektif-individual. Oleh karena itu, menurut Wolf, lebih baik jika dikatakan mereka bertindak berdasarkan kebijaksanaan.[31]  Berdasarkan uraian tersebut, sebaiknya pengertian Freies Ermessen ini diberikan arti yang netral sebagai: “ …… power to choose between alternative courses of action”.[32]
                         
            Sebagai konsekuensi diberikannya Freies Ermessen administrasi negara, maka administrasi negara memiliki  Pouvoir Discretionaire dan oleh karena itu dapat bertindak sebagai vrijbestuur. Dalam kaitan ini, timbul kekhawatiran dari kaum legis bahwa hal tersebut bertentangan dengan asas legalitas, terutama prinsip wetmatigeheid van bestuur, yang artinya semua perbuatan dalam pemerintahan itu harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan.

            Berkaitan dengan pendapat diatas, penulis berpendapat bahwa dalam suatu negara kesejahteraan, prinsip wetmatigeheid van bestuur tidak dapat lagi dipertahankan secara kaku. Kenyataan ini didukung oleh fakta bahwa apabila prinsip ini dianut secara kaku, maka administrasi negara akan sulit mengantisipasi setiap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, karena setiap saat harus menunggu peraturan perundang-undangan terlebih dahulu. Pada sisi lain, badan legislatif pun tidak dapat sepenuhnya menangani semua perkembangan yang terjadi, disebabkan beberapa kelemahan yang ada padanya, seperti yang dikatakan Sidney Low, bahwa anggota badan legislatif terdiri dari “amatir-amatir” yang tidak sepenuhnya menguasai persoalan, disamping itu besarnya jumlah anggota legislatif pada akhirnya akan menyulitkan dalam mengambil keputusan.

            Itulah sebabnya dalam suatu negara modern, peranan administrasi negara sebagai penyelenggara pemerintahan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan peranan legislative. Sehingga administrasi negara tidak hanya sekedar melaksanakan undang-undang (legisme). Melainkan demi terselenggaranya negara hukum dalam arti materiil, memerlukan adanya Freies Ermessen. Dengan diberikannya Freies Ermessen ini maka administrasi negara tidak dapat lagi menunggu perintah dari badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif. Dalam hal yang demikian administrasi negarakah yang membuat peraturan penyelesaian yang diperlukan itu. Ini berarti bahwa sebagai eksekutif. Hal ini menjadi kenyataan disetiap  welfarestate.

D.    Badan Negara yang memiliki Freies Ermessen

Adanya Freies Ermessen menyebabkan administrasi Negara memiliki kekuasaan bertindak dalam menghadapi persoalan-persoalan yang mendesak dikarenakan aturannya belum ada, yang terwujud melalui kebijakannya. Pada dasarnya hal itu berarti bahwa negara menentukan “apakah hukumannya” bagi persoalan tersebut, dan masalah ini erat kaitannya dengan masalah pertanggungjawabannya.

Untuk melihat siapakah yang dipertanggungjawabkan maka harus diketahui terlebih dahulu badan administrasi Negara mana yang memiliki  Freies Ermessen: apakah legislatif, eksekutif atau yudikatif ?. Jadi dengan adanya kepastian mengenai pemegang Freies Ermessen ini, kita dapat memastikan penanggungjawabnya. Oleh karena itu terlebih dahulu akan diuraikan apa dan siapakah yang dimaksud dengan administrasi Negara itu ?.

Memperhatikan  berbagai batasan mengenai pengertian admnistrasi negara yang terdapat dalam beberapa kepustakaan, penulis mengutip pendapat Sjahran Basah[33] yang menyatakan : “….. adsministrasi Negara, yakni alat perlengkapan Negara (tingkat Pusat dan Daerah), yang menyelenggrakan seluruh kegiatan bernegara dalam menyelenggarakan pemerintahan….”

Memperhatikan sekilas pengertian, timbul kesan bahwa batasan diatas merupakan pengertian dalam arti yang luas. Akan tetapi kita pelajari secara seksama, ternyata kita mendapatkan pengertian administrasi negara dalam arti sempit. Sebab, demikian menurut Sjahran Basah, meskipun dalam rangka “menjalankan seluruh kegiatan bernegara daam menyelenggarakan pemerintahan itu”, Administrasi Negara melakukan sikap tindak yang berwujud tri fungsi, namun hal tersebut janganlah dihubungkan dengan teori triaspolitica dari Montesquieu[34] . Dengan perkataan lain sikap tindak administrasi negara yang berwujud tri fungsi tadi (yang berupa membuat peraturan perundang-undangan dalam arti materil yang bukan berbentuk undang-undang dan berderajat dibawah undang-undang, melakukan tindakan administrasi yang nyata dan aktif, serta menjalankan fungsi peradilan) bukanlah arti Triaspolitica Montesquieu.
      
Jika menggunakan cara berpikir teori sisa (residu theorie atau aftek theorie), pengertian administrasi Negara dapat dipertegas sebagai “ gabungan jabatan aparat administrasi yang dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian dari tugas pemerintah yang tidak dilakukan oleh badan pengadilan maupun badan legislatif [35] Adanya sikap tindak administrasi yang berwujud tri fungsi tersebut merupakan konsekuensi logis dari suatu Negara kesejahteraan. Dalam konteks inilah pentingnya pembicaraan mengenai Freies Ermessen.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa Freies Ermessen memang sebaiknya dipegang oleh pemerintah (eksekutif) beserta seluruh jajarannya, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah. Karena itu dalam penggunaan Freies Ermessen yang melanggar atau merugikan hak warga Negara, maka terhadap pemerintah (eksekutif) dapat diminta pertanggungjawaban melalui pengadilan. Pandangan ini sangat sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Satu hal yang sangat keliru jika Freies Ermessen diberikan kepada badan yudikatif, sebab jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak warga negara, kepada badan manakah  kiranya gugatan warga negara akan ditujukan? Jadi dengan demikian kebebasan yang diberikan kepada hakim itu bukanlah kebebasan atau keleluasaan dalam arti Freies Ermessen, oleh sebab itu substansi atau hakekat dari Freies Ermessen adalah mengenai “kebijakannya”. Jelas bahwa meskipun Freies Ermessen itu pada akhirnya menentukan “apakah hukumannya” terhadap suatu persoalan yang konkret, tetapi dilihat dari hakekat fungsinya berbeda dengan penentuan hukum oleh hakim.

E.     Peranan Freies Ermessen Sebagai Peraturan Kebijaksanaan dalam HAN

Keberadaan peraturan kebijaksanaan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies Ermessen. Oleh karena itu, sebelum menjelaskan peraturan kebijaksanaan, terlebih dahulu dikemukakan mengenai freies Ermessen ini. 

Adanya Freies Ermessen bertolak dari kewajuban pemerintah dalam welfare state, di mana tugas pemerintah yang utama adalah memberikan pelayanan umum atau mengusahakan kesejahteraan bagi warga negara, disamping memberikan pelayanan umum atau mengusahakan kesejahteraan bagi warga negara, dan memberikan perlindungan bagi warga negara. Apabila dibandingkan dengan negara kita, freies Ermessen muncul bersamaan dengan pemberian tugas kepada pemerintah untuk merealisasi tujuan negara seperti yang tercantum dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945. Karena tugas utama pemerintah dalam konsepsi welfare state itu memberikan pelayanan bagi warga negara, muncul prinsip “Pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya atau belum/tidak ada peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar kewenangan  untuk melakukan perbuatan hukum.”

Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas atau freies Ermessen, dalam suatu negara hukum penggunaan freies Ermessen ini harus dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku. Penggunaan freies Ermessen tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Menurut Muchsan pembatasan penggunaan freies Ermessen adalah sebagai berikut :
a.       Penggunaan freies Ermessen tidak boleh bertentangan dengan system hukum yang berlaku (kaidah hukum positif).
b.      Penggunaan freies Ermessen hanya ditujukan demi kepentingan umum.

Sementara itu, Sjahran Basah secara tersirat berpendapat bahwa pelaksanaan freies Ermessen tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan, “Secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama.” Lebih lanjut Sjahran Basah mengatakan bahwa secara hukum terdapat dua batas, yaitu batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas dimaksudkan ketaatan ketentuan perundang-undangan berdasrkan asas taat-atas, yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sementara itu, batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga.

Dalam Ilmu Hukum Administrasi Negara, freies Ermessen ini diberikan hanya kepada pemerintah atau administrasi negara baik untuk melakukan tindakan-tindakan biasa maupun tindakan hukum, dan ketika freies Ermessen ini diwujudkan dalam instrumen yuridis yang tertulis, jadilah ia sebagai peraturan kebijaksanaan. Sebagai sesuatu yang lahir dari freies Ermessen dan yang hanya diberikan kepada pemerintah atau administrasi negara, kewenangan pembuatan peraturan kebijaksanaan itu inheren pada pemerintah (inherent aan het bestuur).

Walaupun sebenarnya penyelenggaran urusan pemerintahan dalam suatu negara hukum itu bersendikan pada peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip yang dianut dalam suatu negara hukum yaitu asas legalitas, tetapi karena peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis itu mengandung kekurangan dan kelemahan, sebagaimana telah disebutkan di atas, keberadaan peraturan kebijaksanaan menempati posisi penting terutama dalam negara hukum modern.

Memperhatikan uraian-uraian sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa Freies Ermessen adalah "Kebebasan atau keleluasaan kehendak bertindak adminitrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tesebut harus dapat dipertanggungjawabkan".

Berdasarkan pengertain diatas, adanya Freies Ermessen dalam lalu lintas hukum administarsi negara, maka para administrasi negara dalam menjalankan fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan kepentingan umum. Sehingga dalam menghadapi hal-hal yang sifatnya penting dan mendesak yang aturannya belum tersedia, administrasi negara atas inisiatifnya sendiri dapat langsung bertindak tanpa menunggu instruksi lagi. Jadi, administrasi negara dapat langsung dengan berpijak kepada asas kebijaksanaan. Dengan demikian sifatnya adalah spontan.

Uraian diatas menunjukkan bahwa Freies Ermessen merupakan pengecualian terhadap asas legalitas dalam arti yang sempit dengan prinsip wetmatigeheid van bestuur-nya. Hak ini bukan berarti dikesampingkannya sama sekali asas legalitas, karena sikap tindak administrasi negara harus dapat diuji berdasarkan peraturan perundang-umdangan lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini tetap dipergunakan asas legalitas, hanya saja dalam pengertian yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Hal ini tercermin dalam rumusan kata " dapat dipertanggungkawabkan ".Sehubungan dengan hal itu, Prajudi Atmosudirdjo[36] menyatakan : " Diskresi diperlukan sebagai pelengkap daripada asas legalitas, yaitu hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang".

Melihat perkembangan yang semakin cepat dalam masyarakat pada suatu negara modern saat ini, maka dituntut pula kesiapan administrasi negara untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi. Dalam hal ini, sudah barang tentu asas legalitas (dalam arti wetmatigeheid van bestuur) tidak dapat lagi di pertahankan secara kaku. Sebab, administrasi negara bukan hanya terompet daripada suatu peratutan perundang-undangan, melainkan dalam melaksanakan tugasnya itu mereka wajib bersikap aktif demi terselenggarnya tugas-tugas servis publik, yang kesemuanya itu tidak dapat ditampung oleh hukum tertulis saja. Oleh karenanya maka diperlukan Freies Ermessen.

Memperhatikan pendapat Sjahran Basah sebagaimana   yang dikemukakan pada uraian sebelumnya, maka implementasi Freies Ermessen melalui sikap tindak administrasi negara ini dapat berwujud :
F Membentuk peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang secara materiil mengikat umum;
F Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual;
F Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif;
F Menjalan fungsi peradilan, terutama dalam hal "keberatan" dan "banding" administrasi.

Bertitik tolak dari beberapa uraian diatas, maka keberadaan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara dapat dimanfaatkan untuk mengisi celah atau kekosongan hukum (rechtvacuum), sehingga memperlancar gerak administrasi negara. Dengan demikian Freies Ermessen berperan dalam mengisi, melengkapi dan mengembangkan Hukum Administrasi Negara.
Memperhatikan uraian-uraian sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa Freies Ermessen adalah "Kebebasan atau keleluasaan kehendak bertindak adminitrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tesebut harus dapat dipertanggungjawabkan".

Berdasarkan pengertain diatas, adanya Freies Ermessen dalam lalu lintas hukum administarsi negara, maka para administrasi negara dalam menjalankan fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan kepentingan umum. Sehingga dalam menghadapi hal-hal yang sifatnya penting dan mendesak yang aturannya belum tersedia, administrasi negara atas inisiatifnya sendiri dapat langsung bertindak tanpa menunggu instruksi lagi. Jadi, administrasi negara dapat langsung dengan berpijak kepada asas kebijaksanaan. Dengan demikian sifatnya adalah spontan.


F.     Simpulan

Berdasarkan beberapa uraian yang telah dikemukakan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.            Dalam suatu negara kesejahteraan, campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dihindarkan lagi. Mengingat sedemikian luasnya tugas servis publik yang harus dilaksanakan, maka administrasi negara memerlukan keluasan bergerak, teruatama dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang mendesak sementara aturan untuk itu belum ada atau belum jelas. Keleluasaan bergerak administrasi negara ini disebut Freies Ermessen.
2.            Sebagai sesuatu yang memberikan "ruang gerak" bagi administrasi negara maka Freies Ermessen dapat berperan dalam mengisi, melengkapi dan  mengembangkan Hukum Administrasi Negara. Sehingga dengan demikian, tidak akan terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam Hukum Administrasi Negara. Menyadari perannya yang demikian itu maka Freies Ermessen membawa konsekwensi "menyimpangi" asas legalitas dalam arti  wetmatigeheid van bestuur. Jadi ia merupakan "perkecualian" dari asas legalitas dalam arti tersebut.
3.            Peraturan kebijaksanaan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggraan tugas-tugas pemerintahan  sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. Peraturan ini semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum. Oleh karena itu, peraturan ini  disebut pula dengan istilah psudo-wetgeving (perundang-undangan semu) atau spigelsrecht  (hukum bayangan/cermin).
4.            Freies Ermessen dalam HAN, merupakan kebebasan atau keleluasaan bertindak administrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatif sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan. Freies Ermessen sebaiknya hanya diberikan kepada administrasi negara dalam arti sempit, yaitu pemerintah (eksekutif) beserta seluruh jajarannya baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah.















DAFTAR PUSTAKA

Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985.

Djenal Husen Koesoemaatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.

Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1978.

Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981.

M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, 1983.

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada , Jakarta, 2007

Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985.

---------- , Beberapa Permasalahan Pokok Sebelum Realisasi Efektif Pengadilan Administrasi, Dimuat dalam "Bunga Rampai HTN dan HAN", FH UII, Yogyakarta, 1987.

SF. Marbun dan Muh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987.


[2] Perkembangan tersebut dimulai dari konsep Negara “nomoi” (Negara hokum) dari Plato, Polizeistaat, nachhtwakerstaat/Negara hokum liberal/ Negara hokum formal (Kant, Fichte, dan Stahl) dan Welvaarstaat/ Negara hokum material/ sociale verzorgingstaat/social service state di Eropa Kontinental. Sedangkan di AngloSxon berkembang konsep “rule of law” dari AV Dicey. Untuk jelasnya lihat : O. Notohamodjojo dalam Makna Negara Hukum, 1970, hlm. 11-35; Sudargo Gautama dalam pengertian Tentang Negara Hukum, 1973; Padmo Wahjono dalam Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, 1983; Serta Soerjono Soekanto dalam Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, 1976, hlm. 49-78.
[3] Dikutip dari MP. Jain dalam Development of administrative Law in Malaysia Since Merdeka yang dimuat dalam The Malayan Law Jounal Supplement, (1977)2MLJ,ms.ii. Lihat juga Sunarjati Hartono dalam Apakah The Rule Of Law itu?, Alumni Bandung, 1976.
[4] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada , Jakarta, 2007, hlm. 95. Lihat juga P. de Haan, et.al., Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, deel 1 (Deventer:Kluwer,1986), hlm. 280.
[5] Ibid, hlm.95.
[6] Sjahran Basah, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hlm.12. Lihat juga E. Utrecht dalam Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH UNPAD, 1960, hlm.23.
[7] Ridwan HR, Op.cit.,  hlm. 191.
[8] Lihat Sjachran Basah dalam Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Admnistrasi Negara, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis XXIX UNPAD, Bandung, 24 September 1986, hlm.4.
[9] Ridwan HR, Op.cit., hlm. 183.
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] P.J.P Tak, Dalam buku Ridawan HR yang berjudul Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada , Jakarta, 2007, hlm. 184.
[13] Ibid, hlm. 185.
[14] Ibid, hlm.185-186.
[15]Ibid, hlm186-187.
[16] Ibid, hlm.187-188.
[17] Ibid, hlm. 188-190.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hlm.191-192.
[21] Ibid.
[22] Ibid, hlm.193.
[23] AdolfHeuken SJ. Kamus Jerman-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1987.
[24] Fockema-Andreae, Kamus Istilah Hukum (Terjemahan  Saleh Adiwinata, et.Al.), Binacipta, Bandung, 1983, hlm.143 dan hlm.98.
[25] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm.85.
[26] Sjahran Basah, Eksistensi ….., op.cit., hlm.151.
[27] Ibid, hlm.219.
[28] Sjahran Basah, Perlindungan Hukum …., Op cit., hlm.2.
[29] Amrah Muslimin, Beberapa Azas dan Pegertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi,Alumni, Bandung, 1985,hlm.73.
[30] Dikutif dari Marcus Lukman dalam Freis Ermessen Dalam Proses Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Kota di Kotamadya Pontianak,Tesis Magister Pda Fakultas Pascasarjana UNPAD, tidak dipublkasikan, 1989, hlm. 145-146.
[31] Ibid.
[32] A.A. de. Smith. Constitutional and Administrative Law, Pinguin Books,5th edition, 1985,p.597.
[33] Sjahran Basah, Perlindungan Hukum ……., Op cit., hlm.2.
[34] Ibid, hlm.5.
[35] E. Utrecht, Op. Cit. hlm. 10.
[36] Prajudi Atmosudirdjo, Op. Cit, Hal. 77-78.